| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, July 16, 2004,2:34 PM
'KENISCAYAAN', KETERBUKAAN DAN GLOBALISASI
Perdebatan hangat pertama-tama terjadi di kalangan para filsuf tahun 1930-an tentang masalah batas-batas determinisme, yang justru menjadi dasar dari penelitian ilmiah. Agar ilmu mampu menjelaskan ‘hubungan-hubungan yang niscaya yang berasal dari hakikat benda-benda’, maka hubungan-hubungan ini harus sungguh-sungguh niscaya; dengan kata lain, anteseden khusus A harus selalu dan mau tidak mau menghasilkan akibat B. inilah apa yangdimaksudkan dengan ‘determinisme’, atau biar lebih mudah berikutnya diistilahkan dengan ‘keniscayaan’.

Seorang ahli terkemuka politik Perancis, Maurice Duverger yang tak kalah pentingnya ia juga seorang teoritisi sosiologi politik, dalam bukunya ‘Sosiologie Politique’ yang terbit pada tahun 1966, mengatakan bahwa hubugan determinisme yang absolut akhirnya tumbang oleh determinisme statistika sebagai sesuatu yang relatif, sebuah konsep yang diciptakan oleh ilmu-ilmu sosial. Ini karena mengingat paham kebebasan kehendak pada masing-masing person yang terlepas dari faktor eksternal. Bahkan sekarang ada kecenderungan mendasarkan ilmu-ilmu fisika pada ilmu-ilmu sosial atas prinsip determinisme statistika yang tidak lagi absolut.

Ingatan kita masih segar ketika Alberth Enstein, manusia ter-genius abad 21 yang mencetuskan teori relativitas. Kalangan llmuwan, waktu itu, mengingkari teori ini lebih-lebih kalalngan positivistis. Enstein, sebagai manusia genius tentu pemikirannya melaju melintasi ruang dan waktu di mana dia hidup, teorinya tidak bisa diterima pada zamannya, melainkan realitas yang akan membuktikannya sendiri. Kebenaran teori Enstein baru terbukti ketika peristiwa bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang. Dengan kejadian tersebut hukum relativitas menemukan pijakan faktual yang tidak bisa dipungkiri oleh kalangan ilmuwan.

Determinisme atau keniscayaan ternyata tidak hanya mengemuka dalam pentas peras otak para ilmuwan, melainkan juga telah lama mengkristal dalam rana sosial kehidupan masyarakat. Hal ini wajar-wajar saja. Sebab, waktu dulu, ada kebersatuan antara anak bangsa dengan lingkungan biologis, ia merupakan produk budaya yang melingkupi dan ia tempati.

Kita Sewaktu kecil, ingatan kita masih segar bagaimana anak bangsa menyatu dengan alam mereka. Tempat bermain mereka di pekarangan rumah, sawah dan ladang, mereka tidak pernah bersentuhan dengan budaya dan pola hidup di luar lingkugan biologisnya. Budaya mereka terwariskan secara turun-temurun, ajek dan tetap bertumpu pada orisinalitasnya yang alami. Pemetaan budaya menjadi mudah, ada budaya Eropa, Asia atau lebih kecil lagi budaya Madura, Jakarta, Minang, Jawa dan sebagainya.

Waktu itu, hubungan budaya dengan person bersifat determinisme, dengan kata lain prilaku anak bangsa merupakan keniscayaan dari budaya yang melingkupinya, yakni lingkungan biologis. Prilaku Arek Suroboyo pasti lain dengan Lanceng Madure, karena disebabkan keniscayaan budaya yang melingkupinya. Budaya dan pola pikir seorang anak bangsa dengan mudah dapat diketahui. Orang timur tidak mungkin punya gaya hidup Barat (westren culture), begitu pula sebaliknya. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah ‘determinisme’ budaya (dalam artian luas) masih tetap ada dalam realitas budaya bangsa pada saat ini ?

Pertanyaan ini tampaknya mudah ditebak jawabannya. Namun kita mencoba mengkaji lebih jernih dengan harapan mengurangi bobot mutual misunderstanding antara person atau kelompok dalam suatu komunitas atau organisasi. Sehngga setiap orang merasa legowo dalam manghadapi ralitas hubungan antar individu atau kelompok yang tidak bisa dipungkirinya. Taruhlah contoh terkecil keluarga, hubugan suami-istri atau orang tua-anak. Atau lebih besar lagi dunia kampus, hubungan antar mahasiswa atau dosen-mahasiswa.

Sebagaimana telah maklum, globalisasi teknologi dan informasi telah mampu membobol tembok tebal yang menjadi pemisah antara bangsa di belahan bumi, ia merambah alam dan rantau anak manusia. Dunia menjadi menyempit, ia tak ubahnya sebuah perkampungan keil (small village) dimana segala peristiwa yang terjadi dapat diketahui dengan mudah oleh penduduknya.

Berbagai peristiwa yang terjadi di belahan bumi tersaji secara detail dalam vircual world –dunia maya, atau lebih ngetren internet. Malalui jendela internet, anak bangsa dapat berkelana ke segala penjuru dunia, ia tak ubahnya terbang berpetualang dalam luasnya dunia. Anak bangsa dengan mudah dapat mengetahui budaya dan peristiwa yang terjadi di Benua Eropa, Amerika, Australia, dan Asia.

Percepatan informasi global tersebut telah menjadikan keterkaitan antar bangsa. Kejadian di suatu negara akan memberi dampak terhadap yang lain baik secara psikologis maupun secara material, bahkan sampai pada elemen terkecil dalam sebuah negara akan tersedot dalam pusaran raksasa berskalal global itu. Taruhlah contoh ketika terjadi tragedi Megateroris 11 Sepetember di Amerika, Twin Tower atau Menara Petronas di Malaysia juga dijaga sebegitu ketat sebagai dampak kekhawatiran eskalasi teroris akan merambah negeri jiran itu. Bahkan tidak hanya sampai di sini, tragedi tersebut juga telah menimbulkan kekhawatiran alamat buruk bagi perekonomian global.

Begitu pula segala yang dilalui dan ditemui oleh anak bangsa dalam vircual world akan terekam dengan rapi dalam otak bawah sadar mereka. Rekaman tersebut, tanpa disadari, akan tertuang kembali dalam tindak keseharian mereka. Kalau dilihat sepeintas, prilaku mereka tampak menyimpang dari norma-norma komunitasnya. Dalam kondisi yang demikian, keniscayaan yang dulunya begitu kuat ternyata dalam era globalisasi tak lebih sebuah determinisme statistika yang relatif, artinya bisa saja orang Asia berprilaku seprti orang Eropa dan sebaliknya. Lingkungan biologis tidak lagi dominan dalam mempengaruhi prilaku perorangan.

Kondisi ini lambat laun akan menimbulkan pergeseran di segala aspek kehidupan, yakni sistem nilai, pilihan dan standar prilaku anak bangsa yang selama ini bersifat ajek dan menjadi pegangan. Nilai yang sebelumnya menjadi panutan orang tua, bagi anak malah termodifikasi dengan standar subjektifnya. Dalam hal ini biasanya orang tua dalam tindakannya lebih bersifat regresif sedangkan anak lebih bersifat progresif. Hal ini juga telah merambah organisasi, lembaga pendidikan dan institusi-institusi kemasyarakatan lainnya. Tak jarang terjadi cless accumulation dalam sebuah ormas yang kemudian melahirkan ketidakpuasan di salah satu pihak, persaingan tidak sehat, bahkan penafian kreatifitas yang menjadi vitalitas bagi hidupnya sebuah organisasi.

Prolematika ini perlu kebijaksanaan (wisdom), kalau tidak, akan menjadi sebuah counter productive bagi citra sebuah lembaga atau organisasi kemasyarakatan. Tenaga akan banyak terbuangn sia-sia hanya semata ‘perpecahan’ internal lembaga, begitu pula tak jarang terjadi pembelotan yang dilakukan oleh kelompok atau perorangan yang merasa tidak menemukan porsi pengembangan bakat dan kratifitasnya.

Namun, di saat mereka mencoba bersikap bijak, lagi-lagi mereka terjebak dalam penentuan parameter wisdom, masing-masing kelompok malah mengambil posisi diametral dua kutub ekstrem yang berlawanan. Dalam konteks yang demikian masalah tidak justru terselesaikan secar efektif, mereka lagi-lagi terjebak dalam perdebatan mengenai wisdom secara konsepsional. Kelompok yang satu mengkalim bahwa tindakan mereka sudah bijak begitu juga dengan yang lainnnya. Adanya ketidaksepakatan sama sekali atas dasar-dasar tindakan kedua kelompok akan memunculkan masalah baru yang memperkeruh permasalahan pertama, masalah tidak malah terselesaikan melainkan menjadi masalah berantai yang tak berujung dan tak berpangkal, tidak akan pernah terselesaikan.

Permasalahan yang demikian akan menajadi rumit. Akan mungkinlah menunjukkan sedikit dimensi atau parameter untuk memperbandingkan secara terbuka pendapat masing-masing orang atau kelompok satu sama lain. ini tidak membuat kita menganut pandangan bahwa pendapat yang ‘betul’ harus merupakan kompromi tertentu di antara kutub-kutub dari masing-masing dimensi itu. Melainkan lebih ditekankan pada sikap keterbuakan yang diiringi filter dengan pertimbangan jauh ke depan, tidak hanya luapan kemauan sesaat.

Kalau kita kontekskan kembali pada sebuah organisasi atau lembaga, salah satu atau kedua kelompok tidak malah melihat perubahan itu dengan negative thinking melainkan mencoba melihat lebih jauh perubahan itu. Perubahan itu bisa saja ditolerer selagi dalam kerangka filter nilai yang menjadi semangat awal suatu organisasi atau suatu komunitas. Perdebedaan tidak lagi dipahami sebagai sebuah pengingkaran dan tidak perlu dinafikan, melainkan dipahami sebagai sebuah kreatifitas dari kalangan tertentu yang selalu haus inovasi.

Dengan pola pendekatan yang demikian, perubahan menjadi wajar selagi perubahan itu tidak merusak dan mencabik-cabik sendi-sendi kepercayaan, budaya dan kemanusiaan, dengan kata lain perubahan performance tidak menjadi masalah selagi berlandaskan pada spririt yang menjadi pijakan sebelumnya. Karena bagaimanapun ini merupakan rentetan dampak globalisasi yang hadir dan tidak bisa dipungkiri. Dalam kondisi yang demikian, orang yang bijak tidak akan membiarkan sebuah budaya atau kepercayaan menjadi arang di tengah percepatan peradaban, tidak ada alasan lagi mempertahankan kulitnya saja, melainkan lebih ditekankan pada esensinya yang akan selalu mewarnai kulitnya, peradaban. Sekarang marilah kita lebih legowo menerima dampak globalisasi yang telah hadir mengitari seluruh ruang dan waktu kita.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home