| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, July 16, 2004,2:38 PM
MA'HAD ALY SITUBONDO
Antaran

Pondok Pesantren merupakan pusat pendidikan Islam, dakwah dan pengabdian masyarakat yang tertua di Indonesia. Pondok pesantren diakui sebagai sistem dan lembaga pendidikan yang memiliki akar sejarah dengan ciri-ciri khas pula. Keberadaannya sampai sekarang tetap berdiri kokoh di tengah-tengah masyarakat. Hal ini terbukti pesantren saat ini masih menampakkan keaslian, kebhinnekaan dan kemandiriannya walaupun usianya setua proses islamisasi di negeri ini.

Keadaan yang sebenarnya menunjukkan bahwa dekade terakhir ini mulai dirasakan ada ‘pergeseran’ peran dan fungsi pesantren. Peran dan fungsi pesantren sebagai kawah candradimuka orang yang rasikh fi ad-diin (ahli dalam pengetahuan agama) terutama yang terkait dengan norma-norma praktis (fiqh) semakin memudar. Hal ini disebabkan antara lain desakan gelombang modernisasi, globalisasi dan informasi yang berakibat kuat pada pergeseran arah hidup masyarakat. Minat masyarakat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama semakin kendor. Kondisi bertambah genting dengan banyaknya ulama yang mesti menghadap Allah sebelum sempat mewariskan keilmuan dan kesalehannya secara utuh kepada generasi selanjutnya. Faktor inilah yang ditengarai menjadikan produk pesantren dari waktu ke waktu mengalami kemunduran, baik dalam amaliah, ilmiah maupun budi pekerti.

Penurunan kualitas peran dan fungsi pesantren ini memunculkan kerisauan dan kegelisahan di kalangan ulama akan punahnya khazanah ilmu-ilmu keislaman. Jika persoalan ini tidak ditangani secara serius tentu sangat membahayakan masa depan umat Islam. Dari sinilah pentingnya segera dibentuk lembaga yang secara khusus giat mempersiapkan kader-kader ulama yang memiliki kejujuran dan ketulusan ilmiah, amaliah yang mumpuni.


Kesejarahan

Ma’had Aly Sukorejo Situbondo (selanjutnya ditulis MA) lahir dari sebuah kegelisahan atas gejala semakin langkanya Ulama. Di ujung tahun delapan puluhan, semakin banyak saja kiai-kiai sepuh di lingkungan Nahdlatul Ulama yang berpulang ke hadirat Allah. Sementara di pihak lain, tidak muncul generasi-generasi baru yang terlihat mampu menggantikan posisi keagamaan dan kemasyarakatan mereka. Hal ini merupakan tikaman tajam bagi pesantren. Peran pesantren melahirkan kader ulama, kembali dipertanyakan.

Dari suasana kejiwaan inilah MA lahir. Alm. KHR. As’ad Syamsul Arifin yang menahkodai kelahiran lembaga ini, seolah hendak mendarmabaktikan karya terakhir dan yang paling monumentalnya untuk masa depan islam dan umat islam. Maka melalui proses ketat, serius dan melelahkan, pada tahun 1990, MA resmi dibuka.

Sebelum MA lahir dan resmi dibuka, sejumlah ulama sowan kepada KH. As’ad Syamsul Arifin mengadukan perihal kekhawatiran tersebut. Bak gayung bersambut, ternyata kyai As’ad merasakan hal yang sama. Beliau mengusulkan, agar mencari kader-kader unggul dari masing-masing pesantren untuk digembleng secara khusus dan di tempat khusus pula. Tujuannya, mencetak kader faqihu zamanihi (ahli ilmu agama di zamannya), ulama yang mempunyai integritas keilmuan memadai dan mampu menjawab persoalan-persoalan zaman di sekitarnya, sekaligus menjadi uswah (tauladan) bagi umatnya. Dari sinilah kemudian muncul ide mendirikan sebuah Lembaga Pendidikan Tinggi Pasca Pesantren yang mereka sebut MA digulirkan. Dan sebagai salah satu pengasuh pesantren, beliau bersedia menjadikan pesantren Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo sebagai proyek percontohan (pilot project).

Ide besar Al- Marhum KH.R. As’ad tentang pendirian MA ini sempat mengendap beberapa saat, mungkin karena kesibukan para masayikh. Baru muncul kembali, ketika dalam peringatan peringatan Haul Akbar KH. Syamsul Arifin, ayahanda KH. As’ad tahun 1989. Saat itu KH. Hasan Basri Lc, salah seorang pengurus teras Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah membacakan wasiat ulama’ sepuh, penggagas berdiri Ormas terbesar di Indonesia, NU, KH. Hasyim Asy’ari yang berbunyi : “Kamu As’ad supaya banyak mencetak kader-kader Fuqaha’ di akhir zaman” Kemudian setelah acara haul beliau mengumpulkan para kyai di kediamannya.

Dari pertemuan ini dibentuk team kecil untuk membahas langkah-langkah teknis pendirian MA. Team ini diketuai oleh KH. Hasan Bashri Lc, (Situbondo) yang beranggotakan; (alm) KH. Abd. Wahid Zaini, SH. (Probolinggo), KH. Yusuf Muhammad, LLM (Jember) KH. Nadhir Muhmmad (Jember) KH. Khatib Habibullah (Banyuwangi) dan KH. Afifuddim Muhajir (Situbondo).

Setelah pembicaraan di kediaman KH.R. As’ad, pembicaraan mengenai langkah awal yang harus diambil, yang dilaksanakan di kediaman KH. Khatib Habibullah yang kemudian dengan pembahasan secara intensif menyangkut materi bahan pengajaran (sillabus), tenaga pengajar dan sebagainya. Dalam rentang waktu kurang lebih tujuh bulan. Dari berbagai kajian intensif terangkum beberapa konsep yang cukup matang tentang pendirian MA dan dipresentasikan dalam sebuah seminar yang dihadiri oleh beberapa tokoh ulama diantaranya KH. Moh. Tholchah Hasan, KH. Ali Yafi’i, KH. Sahal Mahfudz, Prof. KH. Ali Hasan Ad-Dariy An-Nahdi dan KH. Masdar F. Mas’udi.

Meskipun konsep rancangan pendirian MA telah cukup matang, namun bagi beliau belum lengkap, sebelum mendapat restu masayikh Indonesia di antaranya KH. Ali Ma’sum dan ulama Makkatul Mukarramah seperti Syekh Yasin Al-Fandany, DR. Bin Sayyid Muhammad bin Alawiy al-Malikiy, Syekh Isma’il bin Utsman al-Yamaniy. Setelah mendapat restu dari para ulama’, barulah secara resmi Beliau mendirikan sebuah Lembaga Pasca Pesantren pertama di Indonesia pada tanggal 21 Februari 1990, yang kemudian dikenal dengan Al-Ma’had Al-Aly Lil Ulum al-Islamiyah Qism al-Fiqh. Sebuah lembaga pendidikan Islam yang menitik beratkan pada kajian persoalan-persoalan hukum formal islam, yakni fiqh.

Kenapa mesti fiqh ? Karena di samping berdasarkan wasiat KH. Hasyim Asy’ari, Beliau mulai merasakan gejala adanya kelangkaan ulama yang menguasai fiqh secara utuh dan mampu menerapkannya dalam memecahkan persoalan kontemporer secara komprehensif, utuh dan bertanggungjawab.

Di sisi lain, fiqh sering dipahami hanya sebatas ukuran halal-haram semata yang harus diterima apa adanya tak boleh di otak-atik, ketimbang sebagai acuan perilaku umat manusia dalam mengantarkan mereka kepada suatu kehidupan beragama dan bermasyarakat secara baik dan berkualitas. Akibatnya, fiqh menjelma menjadi perangkat undang-undang formal yang rigid atau kaku, tidak rasional dan tak mampu berdialog dengan dinamika masyarakat. Ujung-ujungnya umat semakin menjauhkan diri dari jangkauan fiqh. Salah satu buktinya, hasrat dan keinginan masyarakat untuk menguasai fiqh khususnya dan ilmu-ilmu agama umumnya dalam skala luas semakin menurun. Di sinilah kemudian Pondok Pesantren yang sejak lahir memproklamirkan diri sebagai lembaga pendidikan tafaqquh fi al-din, mulai kehilangan identitasnya.

Persoalan-persoalan inilah yang ingin dijawab Kyai As’ad dan ulama-ulama lainnya dengan mendirikan MA.

Kegiatan Keilmuan

Ada dua prinsip yang mendasari kegiatan keilmuan di MA : penguasaan meteri pembelajaran sedalam mungkin, yakni perkuliahan sebagaimana Lembaga Pendidikan Tinggi, dan pencarian terus-menerus hubungan dan keterkaitan materi-meteri pembelajaran dengan kenyataan sosial yang sedang terjadi. Dua prinsip ini, secara otomatis menuntut MA untuk ambil peran dalam bentuk beberapa kajian terhadap beberapa kenyataan sosial baik yang bernuansa hukum ataupun prilaku kontemporer masyarakat, diantara beberapa kegiatan yang dilaksanakan MA guna merespon kondisi riil masyarakat. Pertama, Pelatihan Fiqh Syiyasah (27 – 29 Mei 2000), dalam kegiatan ini MA bekerjasama dengan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Kegiatan ini adalah untuk menumbuhkan kesadaran politik masyarakat dan kaum sarungan, yang selama 32 berada dalam sebuah rezim militeris-otoriter dengan jargon pembangun. Kungkungan rezim tersebut telah menjadikan rakyat phobi politik, mereka banyak melupakan hak-hak politik mereka. Dengan pelatihan ini, diharapkan masyarakat dan kaum santri dapat kembali berkiprah dalam mempengaruhi kebijakan publik.

Kedua, Seminar Regional Pembuktian Terbalik (20 Mei 2001), MA bekerjasama dengan Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI). Berangkat dari sebuah keprihatinan terhadap kondisi dan moralitas bangsa Indonesia, yang masuk dalam daftar negara terkorup di dunia, meskipun tidak menempati posisi pertama, tentunya hal tersebut cukup membuat riskan bagi kita. KH. Abdurrahman Wahid, sewaktu menjadi Presiden RI, mengatakan ; “Sekarang ini pemerintah sedang mengupayakan pengadilan pelaku tindak pidana korupsi dengan azas pembuktian terbalik secara selektif”. Lepas dari kepentingan dan penilaian politik, santri MA terpanggil untuk melakukan kajian terhadap “Azas Pembuktian Terbalik” dengan pendekatan hukum formal islam, Fiqh, guna mencari relevansinya dengan hukum formal islam dengan diiringi pandangan HAM terhadap Azas hukum tersebut.

Ketiga, Studi Perbandingan Agama (09 – 10 Mei 2002), MA bekerja sama dengan Lintas Agama Toleransi Malang. Sebagaimana kita maklumi bersama, akhir-akhir ini agama selalu dijadikan sasaran antara terhadap segala bentuk kejahatan dan persengketaan sosial yang semakin hari semakin parah. Ini sebagai akibat dari para aktor-aktor yang mengatasnamakan agama. Seperti, konflik Ambon yang telah banyak memakan korban jiwa, yang disinyalir sebagai konflik antar agama. Padahal visi agama adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Dalam upaya mengembalikan arah visi agama diadakanlah kegiatan tersebut. Berkat bantuan media informasi, SCTV, kegiatan tersebut diliput dalam acara Liputan 6. Sehingga mempunyai daya gugah lebih luas akan pentingnya kesadaran kerukunan beragama, bahkan kegiatan tersebut mendapat tanggapan positif dari tokoh Ambon, karena dengan menampakkan visi keagamaan yang sebenarnyalah, kesalahpahaman akan melemah antar umat beragama, termasuk di Ambon.

Keempat, Praktek Pengabdian Masyarakat (01 Agustus – 20 Oktober 2002), selanjutnya kegiatan ini disebut PPM, berupa penerjunan santri ke beberapa pesantren yang dianggap mempunyai nilai strategis-aspiratif, yakni Kabupaten Situbondo, Bondowoso, Jember, Banyuwangi, Pulau Bawean, Pulau Madura, Lombok, Pulau Batam, dan DKI Yogyakarta selama + 2,5 bulan. Kegiatan ini pertama kali dilaksanakan MA angkatan ke-IV (sistem angkatan, 3 tahun/satu angkatan dengan jumlah enam semester), yang menjadi persyaratan wisuda angkatan ke-IV. Dilaksanakannya PPM adalah sebagai konsekwensi logis dari diakuinya MA sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi melalui Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No : 284 Tahun 2001, dengan mempertimbangkan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan ulama, maka diperlukan Lembaga Pendidikan Tinggi pasca pesantren.

Hadir pada acara pembekalan PPM (26-27 Juli) Bapak Dirjen, Dr. Thoha Hamim. Bapak yang memperoleh gelar dotor dari McGill University, Kanada, dengan disertasi berjudul “Moenawar Chalil: The Career and Thought of An Indonesia Muslim Reformist” (1997) ini banyak memberi dorongan akan pentingnya Fiqh dalam upaya dinamisasinya, dengan perangkat Ushul Fiqh, di era kontemporer. Di samping itu, ia juga memberi arahan kepada semua peserta PPM, untuk mengabdikan ilmunya bagi kepentingan masyarakat dan pesantren, sebagai wujud kepedulian santri MA dalam merespon dan mengkomunikasikan ilmunya dengan realitas masyarakat.

Detik-detik menjelang pelepasan (01 Agustus 2002), doa bersama Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, KHR. Ach. Fawaid As’ad beserta beberapa kiai sepuh lainnya. Dalam acara yang cukup mengharukan itu, para peserta PPM mengamini satu persatu do’a yang dikumandangkan oleh kiai-kiai sepuh tersebut. Kemudian dilanjutkan pemberangkatan yang langsung dijemput oleh pengasuh pesantren yang akan ditempati peserta PPM.

Dengan kegiatan PPM diharapkan dapat menjadi sebuah wahana kemitraan bagi pengembangan MA juga Pesantren sasaran. Karena dalam kegiatan ini ada proses pengkomunikasian ilmu pengetahuan santri MA dengan realitas pesantren dan masyarakat di satu pihak, dan pesantren sasaran mendapat pembinaan baik dalam bidang pendidikan maupun managemen-administrasi pesantren di lain pihak. Sehingga kegiatan ini, nantinya, benar-benar menjadi wahana bagi pengembangan pesantren.

Dalam merespon permasalahan hukum kontemporer disamping kegiatan di atas, santri MA juga mengadakan kajian dan diskusi guna menjawab persoalan hukum kontemporer yang terjadi di masyarakat, hasil kajian tersebut diterbitkan dalam bentuk Bulletin Mingguan, Tanwirul Afkar (TA), yang terbit setiap hari Jum’at. Kumpulan beberapa edisi TA yang telah diseleksi ini diterbitkan oleh LKiS menjadi sebuah buku yang berjudul “FIQH RAKYAT, Pertautan Fiqh Dengan Kekuasaan”.

MA juga ikut memberi sumbangan pemikiran, ketika Ormas NU mengadakan Bahtsul Masa’il, dengan mengutus beberapa santrinya menjadi delegasi pada acara tersebut baik di tingkat Ranting, Cabang, Wilayah maupun Nasional. Dengan kajian dan peran inilah santri MA banyak memperoleh umpan balik berupa pengalaman sebagai bekal kelak ketika kembali ke masyarakat, untuk menjadi tauladan dan tokoh masyarakat yang mumpuni.

Pemikiran

Di MA kini sedang berkembang alam pemikiran baru. Kajian kritis dan membumi coba diterapkan secara cermat dalam memahami teks-teks kitab kuning, kitab babon pedoman keagamaan yang ‘sakral’, yang biasanya hanya dihafal dan dipahami lebih pada tingkat kebahasaan. Tanpa perlu merasa canggung, para mahasiswa MA telah menyelenggarakan serangkaian pembacaan secara kritis terhadap sejumlah teks kitab yang ditulis para ulama terdahulu.

Bahkan, pembongkaran dan hermeneutik sebagai metode pemahaman paling kontemporer – yang sering digunakan kalangan post-modernis- mulai diterapkan pada teks-teks kitab yang sudah berumur lanjut itu. Muaranya, semua teks, tak terkecuali teks al-Qur’an dan al-Hadits, bagi mereka haruslah dikomunikasikan dalam kerangka yang dialektis dengan kenyataan kongkrit di masyarakat. Hanya dengan cara itulah, tandas mereka, suatu teks dapat berbunyi dan bermakna bagi pengalaman sejarah kemanusiaan. Secara lebih jauh, mereka siap pula untuk membongkar kembali arkeologi (ilmu tentang penyelidikan purbakala dengan menelaah peninggalan-peninggalannya) pengetahuan yang membentuk corak dan arah pemikiran keislaman lampau.

Kondisi ini sungguh merupakan tontonan sekaligus pemandangan yang menarik. Ini adalah kesaksian yang dapat dipercaya dan tak dapat dipungkiri bahwa di sebagian pesantren terjadi perubahan cara pandang dan cara berpikir yang sangat mendasar di ranah ilmu pengetahuan. Terlihat dengan kentara, misalnya, adanya pergeseran cara baca (pengajian dan pengkajian) di kalangan mahasiswa MA sendiri : dari tektualis menuju kontekstualis; dari orientasi produk pemikiran (fiqh) menuju proses pembentukan pemikiran (ushul fiqh/manhaj al-Fikr); dari orientasi kebahasaan menuju orientasi substansi; dari teks sebagai barang keramat menjadi barang tidak keramat lagi, dan seterusnya. Pada arah pemikiran, mereka tidak hanya berlandas tumpu pada pemikiran tokoh seperti Syathibi, al-Thufi, al-Subki, Ibnu Rusyd, melainkan telah merambah jauh menjelajahi pemikiran tokoh-tokoh seperti Hans-George Gadamer (hemeneutik), Ferdinand de Saussure (linguistik), Levi-Starauss (antropologi), Michael Foucault (epistemologi), Roland Barthes (semiologi), dan sebagainya.

Dalam kacamata ‘internal pesantren’, fenomena tersebut pasti merupakan kemajuan dan keberanian yang sangat luar biasa, setidak-tidaknya untuk ukuran Situbondo yang dikenal sebagai basis pesantren salaf yang begitu menghargai terhadap karya-karya intelektual islam klasik. Sebelum kehadiran MA (1990), corak dan gaya berfikir para santri memang banyak dipengaruhi oleh teks kitab kuning abad pertengahan, dan kritik yang dilancarkan pada kitab kuning biasanya dipandang sebagai skandal pemikiran yang melanggar ‘norma’ keislaman.

Dengan tampilan dan prilaku baru ini, maka ‘kalangan luar’ yang kerap berpandangan sinis terhadap pesantren akan segera mengetahui bahwa di dalam pesantren (MA) sedang berlangsung, kalau boleh meminjam istilah Aswab Mahasin, ‘pembaruan tanpa dentuman besar’. Sebuah pembaharuan yang digelar secara diam-diam oleh kalangan santri sendiri. Terus terang, kenyataan ini, walaupun terkesan sederhana, bisa meruntuhkan mitos label jelek intelektualitas santri-pesantren yang sementara ini sering dituduhkan ‘orang luar’, sebagai kaum tekstualis, konservatif, ortodoks.

MA dengan sangat meyakinkan telah menjadi motor penggerak pembaharuan pemikiran hukum islam, sekurang-kurangnya untuk kawasan ‘tapal kuda’ Jawa Timur. Pemikiran-pemikiran mereka seperti yang terekam dalam buku ‘Fiqih Rakyat’, tergolong cukup radikal jika dibandingkan misalnya dengan aliran pemikiran pesantren lain. Bahkan, buku Fiqih Rakyat hasil karya anak-anak MA itu telah mengundang kegusaran dan sewot para kiai sepuh yang tidak rela jika tradisinya dibongkar-bongkar. Dengan nada geram, para kiai sepuh itu seringkali ‘menghardik’ mereka.

Gejala apa ini sesungguhnya, “virus dan wabah penyakit” macam apa yang telah merasuk ke dalam ‘paru-paru’ mereka, sehingga mereka bergerak di luar orbit tradisinya ? Dari mana asal-usul radikalisme dan liberalisme pemikiran ini ? Bukankah ini justru merupakan kecenderungan yang berlawanan dengan kultur penyangga pesantren yang masih menganggap teks adalah segalanya.

Banyak faktor yang bisa dirujuk sebagai penjelas atas fenomena ini. Pertama, tak dapat disangkal bahwa para pembimbing MA telah memberikan saham cukup besar bagi bersemainya radikalisme pemikiran ini. Peran tokoh-tokoh seperti Masdar Farid Mas’udi, Prof Dr. KH. Sjechul Hadi Permono, SH. MA, Prof. DR. Sa’id Aqiel Siraj, dan KH. Abdurrahman Wahid sendiri terasa sangat berarti. Merekalah yang menyuntikkan ‘darah panas’ ke dalam tubuh anak-anak muda itu. Merekalah yang membukakan pintu masuk untuk mempertanyakan keterkaitan teks yang telah mengalami pelapukan dan untuk terus menggugat kemapanan tradisi. Dan dari para tokoh ini pula, mahasiswa MA belajar bernalar secara kritis dan sistematis.

Kedua, jika dicermati dari bursa pemikiran keislaman di luar gedung pesantren, maka fenomena ini sesungguhnya merupakan kelanjutan logis belaka dari pembaharuan yang juga sedang diusung oleh anak-anak muda NU di kota-kota besar, seperti Jakarta (Lakpesdam dan P3M), Surabaya (eLSAD), Yogyakarta (LKiS), dan sebagainya. Betapa mahasiswa MA sangat tekun membangun jaring-jaring intelektual dengan lembaga-lembaga tersebut. Lewat anak-anak muda yang tersimpul dalam sejumlah LSM itu, mahasiswa MA dapat berkenalan dengan pemikiran tokoh-tokoh pelopor yang berhaluan kiri sekalipun, seperti Hasan Hanafi, Asghar Ali, Abid al-Jabiri, Abdullahi Ahmed al-Na’im, Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammed Arkoun, Karl Marx, Mao, Friedrich Nietzsche, Sartre, dan sebagainya. Dalam pemandangan ini, saya hendak menyatakan bahwa LKiS dan eLSAD adalah dua lembaga kajian tempat mangkal anak-anak muda NU di Yogyakarta dan Surabaya yang memiliki perhatian khusus bagi kontinuitas intelektualisme di MA.

Ketiga, munculnya figur almarhum KH. Abdul Wahd Zaini (sebagai direktur) dan KH. Afifuddin Muhajir (sebagai sekretaris) telah memberikan sokongan moral yang tidak sedikit kepada mahasiswa MA untuk melakukan pemaknaan ulang atas tradisi intelektual pesantren yang sudah dianggap baku atau malah dibakukan. Tanpa hiruk-pikuk, Kiai Wahid dan Kiai Afif telah memberikan suaka keagamaan kepada mahasiswa MA yang sudah merasa ‘sumu’ terhadap tradisinya, dan untuk melakukan sesuatu yang lain. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika MA tidak dipayungi oleh tokoh sekaliber KH. A. Wahid Zaini (alm) dan KH. Afifuddin Muhajir. Dua figur ini telah memberikan keabsahan moral atas radikalisme dan liberalisme itu.

Beberapa paparan di atas sengaja dikemukakan sebagai penjelasan bagi siapa saja yang merasa ‘terganggu’ dengan liberalisme yang berlangsung di lingkungan MA. Tidak seorangpun yang hendak bertahan secara intelektual dapat menghindar dari deru liberalisasi dan radikalisasi pemikiran keislaman. Berupaya untuk mengelak berarti kita telah melakukan ‘bunuh diri’ intelektual.

Dapat diprediksikan, anak-anak muda dengan kesadaran baru seperti di atas akan terus bertambah populasinya dan akan melebar menggenangi pesantren-pesantren lain. ‘Tinggal menunggu waktu dan momentum saja’. Sehingga pada dua puluh tahun yang akan datang tatkala mereka sudah memasuki usia dewasa, kita sungguh akan melihat sesuatu yang lain dari orang-orang pesantren. Ketika para ‘orang tua’ mereka sudah banyak yang udzur dan turun panggung, merekalah yang akan memegang posisi-posisi strategis baik di lembaga pendidikan seperti pesantren maupun di ormas seperti NU. Bayangkanlah, apa yang akan terjadi !

Penulis pernah nyantri di Ma'had Aly
Web site Ma'had Aly Situbondo: Klik di sini

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home