KAPITALISME, SOSIALISME DAN PANCASILAISME
Pengantar
Adalah menarik bahwa para pemikir Barat, baik yang liberalis maupun yang Marxis, sama-sama bersetuju bahwa kemajuan tekhnologi cenderung untuk mengurangi antagonisme sosial dan konflik politik. Mereka sama-sama berpendapat bahwa pada akhirnya kemajuan tekhnologi akan berhasil menjelmakan masyarakat tanpa konflik dan antagonisme, suatu masyarakat yang terintegrasi secara penuh dalam tatanan yang hidup dalam sorga dunia. Bagi kaum Marxis, masyarakat semacam itu akan muncul setelah ia sampai pada “fase terakhir komunisme”, yakni setelah fase diktator proletar. Sedangkan bagi kaum liberal, masyarakat semacam itu menjelma dalam bentuk suatu komunitas yang hidup dalam suasana serba berlebihan setelah era pasca-industri.
Walaupun kesimpulan akhir dua aliran ideologi besar dunia ini sama, namun terdapat perbedaan yang fundemental pada tataran operasional pencapaiannya. Menurut, pemikir liberal, dengan sistem ekonomi kapitalisnya, pencapaian masyarakat yang berkecukupan dengan cara evolusi. Antagonisme sosial akan berkurang secara berangsur-angsur sejalan dengan irama perkembangan/kemajuan tekhnologi suatu masyarakat. Semakin maju masyarakat, semakin kaya mereka, semakin merata pembagian hasil kekayaan itu, dan akhirnya semakin memperlemah perbedaan sosial sehingga praktis melumpuhkan antagonisme atau konflik sosial.Sedangkan menurut para pemikir Marxis, masyarakat terintegrasi penuh yang tanpa konflik dan tanpa antagonisme itu hanya mungkin dicapai melalui proses pertentangan kelas yang dahsyat. Melalui suatu revolusi yang merombak cara-cara atau metode produksi serta hubungan-hubungan sosial yang berkaitan dengan itu. Sorga dunia akan dicapai melalui revolusi kaum tertindas, yang kemudian dalam masa transisi diikuti oleh diktator proletar.
Diantara dua arus besar ideology dunia itu, benarkah pancasila adalah sebagai sebuah ideology arternatif bagi bangsa Indonesia?
Kapitalisme
Dalam sistem ekonomi kapitalis mempunyai kekhasan, yakni dari segi prosesnya, adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui satu hukum; hukum tawar-menawar di pasar. Jadi kapitalisme adalah ekonomi yang bebas; bebas dari pelbagai pembatasan penguasa lain (orang boleh membeli dan menjual barang di pasar mana pun), bebas dari pembatasan-pembatasan produksi (orang bebas mengerjakan dan apapun yang dikehendakinya), bebas dari pembatasan tenaga kerja (orang boleh mencari pekerjaan di mana pun, ia tidak terikat pada desa atau tempat kerjanya). Yang menentukan semata-mata keuntungan yang lebih besar.
Nilai yang ingin dihasilkan oleh para peserta pasar adalah nilai tukar dan bukan nilai pakai. Maksudnya, orang memproduksi atau membeli sesuatu bukan karena ia mau menggunakannya, melainkan karena ia ingin menjualnya lagi dengan keuntungan setinggi mungkin. Keuntungan itu sendiri sangat penting, karena hanya laba cukup besar, seorang usahawan akan bertahan dalam persaingan ketat dengan pengusaha lainnya. Secara sederhana, tujuan sistem ekonomi kapitalis adalah uang, dan bukan barang yang diproduksi. Barang hanyalah sarana untuk memperoleh uang.
Sosialisme
Munculnya paham sosialis merupakan antithesa dari sistem ekonomi kapitalis. Ada keterkaitan erat, baik kritik Marx terhadap sistem ekonomi kapitalis maupun evedensi pijakan teori paham sosialis. Marx secara jujur, bahkan lebih jujur dari kaum feodal sendiri, mengakui bahwa pada tataran nilai, terutama kapitalis-feodal memang penuh dengan nilai suci dan luhur, dengan sikap dan adat seperti kerukunan, kegotong-royongan, dan penghormatan terhadap penguasa atau bangsawan, dengan tatanan sosial di mana kedudukan di atas dan di bawah dianggap sesuatu yang adiduniawi. Namun dari nilai suci ini pula, Marx menemukan arah terjangnya terhadap kapitalis yang kemudian, dalam teorinya, dijadikan hulu ledak bagi lahirnya revolusi sosial.
Menurut Karl Marx segala macam hubungan, tatanan, sikap, perasaan, upacara, dan norma feodal itu sebenarnya tidak lebih daripada selubung suci (dari sini pula kemudian Marx mengatakan bahwa agama adalah candu) yang menutup-nutupi eksploitasi kelas-kelas atas feodal terhadap kelas-kelas bawah. Di belakang perasaan sungkan dan hormat masyarakat terhadap penguasa serta kepercayaannya akan kebaikannya tersembunyilah kerakusan kelas-kelas atas yang hidup dari pekerjaan rakyat. Nilai-nilai feodal tidak lebih dari selubung idelogis kenyataan bahwa masyarakat feodal adalah masyarakat berdasarkan penghisapan manusia atas manusia, yang menyebabkan alienasi, keterasingan seseorang dari apa yang telah dibuat oleh tangannya sendiri.
Eksploitasi dan persaingan inilah yang kemudian membentuk kelas proletarian. Sebagaimana diketahui hukum keras kapitalisme adalah persaingan. Demi persaingan, produktivitas produksi harus ditingkatkan terus-menerus. Artinya, biaya produksi perlu ditekan serendah mungkin sehingga hasilnya dapat dijual semurah mungkin dan dengan demikian menang terhadap hasil produksi saingan. Dengan demikian, lambat-laun semua bentuk usaha yang diarahkan secara tidak murni ke keuntungan akan kalah. Dan itu berarti bahwa hanya usaha-usaha besar yang dapat survive. Toko-toko dan perusahaan-perusahaan kecil tidak dapat menyaingi efisiensi kerja usaha-usaha besar. Lama-kelamaan semua bidang produksi maupun pelayanan dijalankan secara kapitalistik. Yang akhirnya tinggal dua kelas sosial saja; para pemilik modal yang jumlahnya sedikit dan modalnya amat besar, dan kelas buruh yang jumlahnya banyak dan tak punya apa-apa.
Kelas buruh menjadi semakin sadar akan situasinya, akan ekploitasi yang mereka derita, akan kesamaan situasi mereka sebagai kelas proletariat. Mereka berhadapan dengan kaum kapitalis, kemudian kaum buruh mengorganisasikan diri dalam serikat-serikat buruh. Dengan demikian perjuangan proletarian semakin efektif. Solidaritas antara mereka semakin besar. Menurut Marx, kaum kapitalis yang memproduksi kelas proletar yang akan menghancurkan kapitalis sendiri, yakni ledakan revolusioner oleh kaum proletar yang tak dapat dihindari.
Revolusi itu pada permulaannya, kata Marx, bersifat politis; proletariat merebut kekuasaan negara dan mendirikan “kediktatoran proletaritat”, mereka menggunakan kekuasaan negara untuk menindas kaum kapitalis untuk mencegah kaum kapitalis memakai kekayaan dan fasilitas luas yang masih mereka kuasai. Apabila sisi-sisi perbedaan kelas dalam masyarakat sudah hilang, maka dengan sendirinya kediktatoran proletariat juga hilang karena tidak ada kelas yang perlu diawasi dan ditindas lagi. Jadi dengan merebut kekuasaan dan menghapus hak milik pribadi, proletariat akhirnya menciptakan masyarakat tanpa kelas. Dalam masyarakat tanpa kelas, negara sebagai ‘panitia untuk mengurus kepentingan borjuis’ tidak mempunyai dasar lagi; “negara tidak ‘dihapus’, negara menjadi layu dan mati sendiri. Maka komunisme itu adalah ‘loncatan umat manusia dari kerajaan keniscayaan ke dalam kerajaan kebebasan’.
Kecelakaan Sejarah Dua Ideologi
Dalam prakteknya tidaklah selalu demikian. Sesudah terjadi revolusi yang dahsyat di Rusia, di bawah Stalin kemudian masyarakatnya malah semakin berada di dalam suasana ketakutan dan ketertindasan. Apa yang disebut masa transisi diktator proletariat, tampaknya oleh mereka yang berkuasa ingin dijadikan sebagai sesuatu yang relatif permanen, karena hanya dengan cara begitulah mereka bisa tetap bertahan dalam kekuasaannya. Di sini kekuasaan politik tampak memainkan peranan tersendiri dalam kehidupan masyarakat yang tidak bisa dijelaskan melalui teori-teori tadi.
Begitu pula dengan ideologi kapitalis, tak kalah kejamnya dengan Stalinisme Rusia, pernah berkembang di zaman Nazisme Jerman, dimana pada waktu itu masyarakatnya merupakan masyarakat liberal-kapitalis yang paling maju secara tekhnologi dan ekonomi, di samping Amerika Serikat. Mengapa bisa terjadi begitu. Sebagian dari jawabannya mungkin terletak pada faktor kebudayaan, yang sangat tidak mungkin diulas detail dalam makalah ini. Walau demikian, dari gambaran di atas, jelas dua ideologi besar dunia mengalami kecelakaan fatal dalam sejarah, yang memungkinkan untuk mencari alternatif.
Indonesia Dan Dua Ideologi Dunia
Kita mempunyai pengalaman yang mendalam, suatu pengalaman yang pahit, dengan komunisme yang Marxis itu, terlepas dari manipulasi serta interpretasi sejarah. Andaikata Marx sekedar salah seorang pemikir masa lampau, bahkan andaikata ideologi berdasarkan ajarannya, Marxisme tidak lebih daripada ideologi perjuangan kaum buruh industri akhir abad ke-19, dia sekarang tidak akan lebih menarik perhatian daripada pemikiran Michael Bukanin atau Robert Owen. Pada waktu itu Sukarno muda di tahun 1926 menulis tentang “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, orang menganggapnya wajar-wajar saja. Pada abad 20-an pemikiran Marx, lebih-lebih kritiknya yang tajam terhadap kapitalisme, berpengaruh luas di kalangan terbatas kaum intelektual muda pergerakan nasional Indonesia.
Tetapi waktu 35 tahun kemudian, presiden Sukarno memodifikasi trias menjadi NASAKOM, “Nasionalisme, Agama, Komunisme”, beliau telah meloncat ke dimensi yang lain, loncatan yang akhirnya mendaratkan bangsa Indonesia ke dalam malapetaka nasional, yaitu ulah Gerakan 30 September 1965 dengan segala akibatnya. Dari alam cita-cita beliau meloncat ke dalam alam keras perebutan kekuasaan politik. Beliau tidak cukup memperhatikan, bahwa ‘komunisme’ bukan sekedar aktualisasi Marxisme dan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) sebuah partai komunis tulen, dengan ideologi Marxisme-Leninisme tulen. Kekhasan partai itu, berbeda dengan partai-partai berbasis ‘nasionalis’ dan ‘agama’, adalah bahwa ideologinya, menolak pluralisme-demokratis. Partai-partai komunis di manapun mencari monopoli kekuasaan dengan tujuan untuk mendirikan sistem Marxis-Leninis di bawah pimpinan partai yang eksklusif.
Yang luput dari perhatian adalah bahwa partai komunis bukanlah salah satu pemain di antara partai-partai lain dalam arena kehidupan demokrasi. Begitu partai komunis berhasil memegang kekuasaan, dia tidak pernah akan melepaskannya secara sukarela. Dia akan menyingkirkan kekuatan-kekuatan politik lain. PKI dengan ideologinya tidak mungkin ditampung dalam pluralitas pola penghayatan atas dasar Pancasila. Kita juga tidak melupakan bahwa di Indonesia PKI pernah mengancam akan mengambil alih kekuasaan dan mengubah negara Pancasila menjadi negara komunis.
Di satu sisi pembubaran PKI oleh Orba dengan dukungan luas dari masyarakat beserta organisasi pendukungnya, dengan menutup jalan kembalinya PKI ada nilai positif, namun menyingkirkan ideologi komunis dari materi yang dipelajari di universitas dan perguruan-perguruan tinggi kurang benar, kalau tidak mau dikatakan salah. Karena mempelajari sesuatu, tidak sama dengan menganutnya, apalagi dengan menyebarkannya. Sebagai akibatnya, terjadi kebalikan dari apa yang dipesankan dalam Pembukaan UUD 1945; kehidupan bangsa tidak dicerdaskan, melainkan dibodohkan. Ideologi-ideologi yang dianggap berbahaya bukannya dihadapi secara kritis dan argumentatif, tetapi ditabukan dan dimitoskan. Padahal pemikiran Marx, diakui atau tidak, banyak mempengaruhi dunia, tidak bisa dibayangkan abad sekarang ini punya peradaban seperti yang kita lihat tanpa suntikan pemikiran Marxis.
Setelah berakhirnya perang bipolard, perang dingin antara Amerika (pengusung ideologi kapitalis) dan Uni Sovyet (pengusung ideologi sosialis) muncul istilah “pasar bebas” yang didengungkan oleh Amerika Serikat. Di dalam pasar bebas akan terjadi persaingan yang sangat tajam, para pemilik modal bebas memproduksi dan memasarkan barangnya di manapun, termasuk di Indonesia. Sementara negara pemegang modal besar sekarang ini, katakanlah adalah Amerika Serikat, ia akan menghanguskan negara pemodal kecil di negara ketiga. Memang lomba perdagangan di arena pasar bebas ini membuka peluang bagi siapa saja, namun bagi negara yang memiliki modal kecil, ketika memasuki pasar bebas, sama saja dengan bunuh diri, karena akan tergilas oleh eksploitasi negara pemodal besar. Tidak hanya di sektor ekonomi, dalam hal politik Indonesia juga berada di bawah bayang-bayang Amerika. Karena paparan ini hanyalah bola salju, dan sangat tidak mungkin menuangkan semuanya dalam karya tulis ini. Lalu pertanyaan yang muncul kemudian, sejauh mana peran filter Pancasila dalam menghadapi pengaruh dua ideologi dunia tersebut ?
Pertanyaan ini mungkin akan dapat menakar ‘kesaktian Pancasila’. Di samping itu, kita tidak bisa menafikan nilai-nilai yang mengitari Pancasila. Sebab, bagaimanapun Pancasila lahir dalam kultur sebuah masyarakat yang mayoritas beragama Islam.
Ideologi Pancasila dan Islam
Umat Islam di Indonesia sebagaimana di Turki juga mengalami dilema dalam melaksanakan perintah Tuhan seperti dalam surat al-Maidah ayat 44-45 dan 47, suatu perintah yang menyerukan agar umat Islam menetapkan hukum berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, tetapi mereka tidak dapat menuntut agar Islam dijadikan sebagai dasar negara dan semua hukum harus mendapat landasan formal dari al-Qur’an dan Hadits.
Sebetulnya, kegelisahan keagamaan bagi umat itu sudah terlihat pada masa sebelum kemerdekaan. Yang waktu itu pernah terjadi perdebatan ideologis tentang hubungan antara negara dan agama yang tercermin dalam polemik antara Sukarno (nasionalis sekuler) dengan Moh. Natsir (nasionalis Islam). Ketegangan antara kedua kelompok utama ideologi ini untuk sebagian besar menentukan corak dan perkembangan pembicaraan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)) pada bulan Mei, Juni dan Juli 1945. Perdebatan yang panjang dan tajam itu akhirnya membawa para anggotanya kepada satu kesepakatan atau perjanjian bersama yang terkenal dengan the Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.
Namun ketika Piagam Jakarta dibawa ke sidang pleno ke-dua dalam penyelidik timbul perdebatan yang sangat pelik. Titik kontroversialnya adalah tujuh kata yang terdapat dalam pigam terebut yang berbunyi : “Dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Latu Harhary seorang anggota yang beragama Protestan tidak menyetujui pencantuman seluruh anak kalimat tersebut. Akhirnya menghasilkan suatu kompromi untuk menghapus anak kalimat tersebut. Demikian halnya tahun 1959 ketika partai-partai Islam Indonesia pernah memperjuangkan Islam sebagai dasar negara tetapi ditolak dan gagal.
Kegagalan demi kegagalan dalam upaya eksternalisasi Islam dalam sistem kenegaraan ini adalah karena sebuah persepsi yang a-historis. Sebab, dalam catatan sejarah kita bersatu dalam wadah nasionalisme, yakni kesadaran kebangsaan yang telah dijajah selama 3,5 abad, pengalaman pahit inilah yang kemudian menjadikan seluruh rakyat Indonesia menjadi senasib sepenanggungan. Nasib ini pula yang menumbuhkan tekad untuk melawan penjajah. Kita bersatu bukan karena satu etnis, bukan karena satu agama, melainkan karena kesadaran untuk merdeka dari belenggu kolonialis barat.
Begitu pula, khususnya di Indonesia, Islam yang akan tumbuh subur di masa mendatang adalah Islam pluralis yang mampu bergandeng mesra dengan nasionalisme. Semangat Islam yang demikian telah ada 19 tahun yang silam, yakni ketika Musyawarah Besar Alim Ulama’ di Situbondo Jawa Timur Pada Tanggal 21 Desember 1983 (Muktamar NU ke 27) yang mencoba memposisikan hubungan dan kedudukan masing-masing, yakni Islam adalah sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi bangsa, dengan keputusan Muktamar ini, NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal NU, yang bukan sekedar taktik politik, tapi lebih berdasarkan pada prinsip-prinsip pendirian dasar NU. Para pemimpin umat Islam Indonesia, menurutnya, berpartisipasi aktif dalam perumusan Pancasila. Nilai-nilai mulianya sebangun dan didukung oleh prinsip-prinsip Islam. Keputusan penerimaan asas tunggal itu berbunyi :
"Pancasila dan Islam dapat berjalan berdampingan dan saling menunjang satu sama lain. keduanya tidak betentangan dan tidak akan dipertentangkan. Tidak perlu memilih yang satu dengan mengesampingkan yang lain".
NU menerima Pancasila sebagaimana hasil rancangan konstituante tahun 1945 dan tidak menghendaki perselisihan dalam menginterpretasikan Pancasila serta menolak pandangan yang mempersamakannya dengan agama.
Islam merupakan tindakan agama sedangkan Pancasila adalah pandangan hidupnya. Pemerintah selalu menekankan, tidak ada maksud untuk menjadikan Pancasila sebagai agama atau memperlakukan Pancasila seolah-olah agama. NU menanggapi pernyataan pemerintah itu dengan serius dan yakin pemerintah tidak mengajak NU menerima Pancasila dengan cara mereduksi keyakinan Islam. NU menerima Pancasila bukan dalam perngertian politik tapi lebih karena pemahaman hukum Islam.
Bagaimanapun menerima Pancasila sebagai asas tunggal adalah sangat logis, karena ia lahir dalam semangat nasionalisme-pluralis. Dalam menjaga nilai-nilai luhur yang terdapat dalam Pancasila dan upaya antisipasi terhadap munculnya ajaran Marxisme-Leninis yang telah mencoba merongrongnya, diperlukan beberapa upaya kongkrit, yakni :
1. Memahami Pancasila sebagai falsafah negara, baik secara filosofis maupun secara praktis. Sebab Pancasila sebagai wadah nilai-nilai keagamaan yang amat luhur di Indonesia.
2. Konsolidasi antar pemimpin agama di samping memperkuat komitmen keagamaannya, guna menjaga kerukunan beragama dalam keragamannya, yang tercermin dalam kebhinnekaan Pancasila. Dengan demikian bangsa Indonesia tidak mudah terpecah-belah oleh ideologi atau paham manapun.
3. Kerjasama yang simetris antara ulama dan umara’ (pemerintah dan intelejen TNI dan Polri) dalam upaya menjaga keutuhan bangsa dengan penghayatan terhadap nilai-nilai luhur Pancasila.
4. Reorientasi tentang sistem pendidikan nasional dengan memperhitungkan pembelajaran keberagamaan yang memadai. Karena nilai-nilai dalam agamalah yang kemudian juga akan menjadi tameng Pancasila.
5. Mengupayakan ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada kebutuhan dan mata pencaharian rakyat, inilah yang membedakan dengan sistem ekonomi kapitalis yang cenderung monopoli dan sistem ekonomi sosialis yang tidak mengakui hak individu.
Dengan pendekatan yang komprehensif, yakni sistem nilai, tokoh agama, umara’, pendidikan dan perekonomian inilah bangsa Indonesia akan terselamatkan dari bahaya laten ideologi atau paham yang bertentangan dengan Pancasila di era globalisasi yang tak terelakkan itu.
Adalah menarik bahwa para pemikir Barat, baik yang liberalis maupun yang Marxis, sama-sama bersetuju bahwa kemajuan tekhnologi cenderung untuk mengurangi antagonisme sosial dan konflik politik. Mereka sama-sama berpendapat bahwa pada akhirnya kemajuan tekhnologi akan berhasil menjelmakan masyarakat tanpa konflik dan antagonisme, suatu masyarakat yang terintegrasi secara penuh dalam tatanan yang hidup dalam sorga dunia. Bagi kaum Marxis, masyarakat semacam itu akan muncul setelah ia sampai pada “fase terakhir komunisme”, yakni setelah fase diktator proletar. Sedangkan bagi kaum liberal, masyarakat semacam itu menjelma dalam bentuk suatu komunitas yang hidup dalam suasana serba berlebihan setelah era pasca-industri.
Walaupun kesimpulan akhir dua aliran ideologi besar dunia ini sama, namun terdapat perbedaan yang fundemental pada tataran operasional pencapaiannya. Menurut, pemikir liberal, dengan sistem ekonomi kapitalisnya, pencapaian masyarakat yang berkecukupan dengan cara evolusi. Antagonisme sosial akan berkurang secara berangsur-angsur sejalan dengan irama perkembangan/kemajuan tekhnologi suatu masyarakat. Semakin maju masyarakat, semakin kaya mereka, semakin merata pembagian hasil kekayaan itu, dan akhirnya semakin memperlemah perbedaan sosial sehingga praktis melumpuhkan antagonisme atau konflik sosial.Sedangkan menurut para pemikir Marxis, masyarakat terintegrasi penuh yang tanpa konflik dan tanpa antagonisme itu hanya mungkin dicapai melalui proses pertentangan kelas yang dahsyat. Melalui suatu revolusi yang merombak cara-cara atau metode produksi serta hubungan-hubungan sosial yang berkaitan dengan itu. Sorga dunia akan dicapai melalui revolusi kaum tertindas, yang kemudian dalam masa transisi diikuti oleh diktator proletar.
Diantara dua arus besar ideology dunia itu, benarkah pancasila adalah sebagai sebuah ideology arternatif bagi bangsa Indonesia?
Kapitalisme
Dalam sistem ekonomi kapitalis mempunyai kekhasan, yakni dari segi prosesnya, adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui satu hukum; hukum tawar-menawar di pasar. Jadi kapitalisme adalah ekonomi yang bebas; bebas dari pelbagai pembatasan penguasa lain (orang boleh membeli dan menjual barang di pasar mana pun), bebas dari pembatasan-pembatasan produksi (orang bebas mengerjakan dan apapun yang dikehendakinya), bebas dari pembatasan tenaga kerja (orang boleh mencari pekerjaan di mana pun, ia tidak terikat pada desa atau tempat kerjanya). Yang menentukan semata-mata keuntungan yang lebih besar.
Nilai yang ingin dihasilkan oleh para peserta pasar adalah nilai tukar dan bukan nilai pakai. Maksudnya, orang memproduksi atau membeli sesuatu bukan karena ia mau menggunakannya, melainkan karena ia ingin menjualnya lagi dengan keuntungan setinggi mungkin. Keuntungan itu sendiri sangat penting, karena hanya laba cukup besar, seorang usahawan akan bertahan dalam persaingan ketat dengan pengusaha lainnya. Secara sederhana, tujuan sistem ekonomi kapitalis adalah uang, dan bukan barang yang diproduksi. Barang hanyalah sarana untuk memperoleh uang.
Sosialisme
Munculnya paham sosialis merupakan antithesa dari sistem ekonomi kapitalis. Ada keterkaitan erat, baik kritik Marx terhadap sistem ekonomi kapitalis maupun evedensi pijakan teori paham sosialis. Marx secara jujur, bahkan lebih jujur dari kaum feodal sendiri, mengakui bahwa pada tataran nilai, terutama kapitalis-feodal memang penuh dengan nilai suci dan luhur, dengan sikap dan adat seperti kerukunan, kegotong-royongan, dan penghormatan terhadap penguasa atau bangsawan, dengan tatanan sosial di mana kedudukan di atas dan di bawah dianggap sesuatu yang adiduniawi. Namun dari nilai suci ini pula, Marx menemukan arah terjangnya terhadap kapitalis yang kemudian, dalam teorinya, dijadikan hulu ledak bagi lahirnya revolusi sosial.
Menurut Karl Marx segala macam hubungan, tatanan, sikap, perasaan, upacara, dan norma feodal itu sebenarnya tidak lebih daripada selubung suci (dari sini pula kemudian Marx mengatakan bahwa agama adalah candu) yang menutup-nutupi eksploitasi kelas-kelas atas feodal terhadap kelas-kelas bawah. Di belakang perasaan sungkan dan hormat masyarakat terhadap penguasa serta kepercayaannya akan kebaikannya tersembunyilah kerakusan kelas-kelas atas yang hidup dari pekerjaan rakyat. Nilai-nilai feodal tidak lebih dari selubung idelogis kenyataan bahwa masyarakat feodal adalah masyarakat berdasarkan penghisapan manusia atas manusia, yang menyebabkan alienasi, keterasingan seseorang dari apa yang telah dibuat oleh tangannya sendiri.
Eksploitasi dan persaingan inilah yang kemudian membentuk kelas proletarian. Sebagaimana diketahui hukum keras kapitalisme adalah persaingan. Demi persaingan, produktivitas produksi harus ditingkatkan terus-menerus. Artinya, biaya produksi perlu ditekan serendah mungkin sehingga hasilnya dapat dijual semurah mungkin dan dengan demikian menang terhadap hasil produksi saingan. Dengan demikian, lambat-laun semua bentuk usaha yang diarahkan secara tidak murni ke keuntungan akan kalah. Dan itu berarti bahwa hanya usaha-usaha besar yang dapat survive. Toko-toko dan perusahaan-perusahaan kecil tidak dapat menyaingi efisiensi kerja usaha-usaha besar. Lama-kelamaan semua bidang produksi maupun pelayanan dijalankan secara kapitalistik. Yang akhirnya tinggal dua kelas sosial saja; para pemilik modal yang jumlahnya sedikit dan modalnya amat besar, dan kelas buruh yang jumlahnya banyak dan tak punya apa-apa.
Kelas buruh menjadi semakin sadar akan situasinya, akan ekploitasi yang mereka derita, akan kesamaan situasi mereka sebagai kelas proletariat. Mereka berhadapan dengan kaum kapitalis, kemudian kaum buruh mengorganisasikan diri dalam serikat-serikat buruh. Dengan demikian perjuangan proletarian semakin efektif. Solidaritas antara mereka semakin besar. Menurut Marx, kaum kapitalis yang memproduksi kelas proletar yang akan menghancurkan kapitalis sendiri, yakni ledakan revolusioner oleh kaum proletar yang tak dapat dihindari.
Revolusi itu pada permulaannya, kata Marx, bersifat politis; proletariat merebut kekuasaan negara dan mendirikan “kediktatoran proletaritat”, mereka menggunakan kekuasaan negara untuk menindas kaum kapitalis untuk mencegah kaum kapitalis memakai kekayaan dan fasilitas luas yang masih mereka kuasai. Apabila sisi-sisi perbedaan kelas dalam masyarakat sudah hilang, maka dengan sendirinya kediktatoran proletariat juga hilang karena tidak ada kelas yang perlu diawasi dan ditindas lagi. Jadi dengan merebut kekuasaan dan menghapus hak milik pribadi, proletariat akhirnya menciptakan masyarakat tanpa kelas. Dalam masyarakat tanpa kelas, negara sebagai ‘panitia untuk mengurus kepentingan borjuis’ tidak mempunyai dasar lagi; “negara tidak ‘dihapus’, negara menjadi layu dan mati sendiri. Maka komunisme itu adalah ‘loncatan umat manusia dari kerajaan keniscayaan ke dalam kerajaan kebebasan’.
Kecelakaan Sejarah Dua Ideologi
Dalam prakteknya tidaklah selalu demikian. Sesudah terjadi revolusi yang dahsyat di Rusia, di bawah Stalin kemudian masyarakatnya malah semakin berada di dalam suasana ketakutan dan ketertindasan. Apa yang disebut masa transisi diktator proletariat, tampaknya oleh mereka yang berkuasa ingin dijadikan sebagai sesuatu yang relatif permanen, karena hanya dengan cara begitulah mereka bisa tetap bertahan dalam kekuasaannya. Di sini kekuasaan politik tampak memainkan peranan tersendiri dalam kehidupan masyarakat yang tidak bisa dijelaskan melalui teori-teori tadi.
Begitu pula dengan ideologi kapitalis, tak kalah kejamnya dengan Stalinisme Rusia, pernah berkembang di zaman Nazisme Jerman, dimana pada waktu itu masyarakatnya merupakan masyarakat liberal-kapitalis yang paling maju secara tekhnologi dan ekonomi, di samping Amerika Serikat. Mengapa bisa terjadi begitu. Sebagian dari jawabannya mungkin terletak pada faktor kebudayaan, yang sangat tidak mungkin diulas detail dalam makalah ini. Walau demikian, dari gambaran di atas, jelas dua ideologi besar dunia mengalami kecelakaan fatal dalam sejarah, yang memungkinkan untuk mencari alternatif.
Indonesia Dan Dua Ideologi Dunia
Kita mempunyai pengalaman yang mendalam, suatu pengalaman yang pahit, dengan komunisme yang Marxis itu, terlepas dari manipulasi serta interpretasi sejarah. Andaikata Marx sekedar salah seorang pemikir masa lampau, bahkan andaikata ideologi berdasarkan ajarannya, Marxisme tidak lebih daripada ideologi perjuangan kaum buruh industri akhir abad ke-19, dia sekarang tidak akan lebih menarik perhatian daripada pemikiran Michael Bukanin atau Robert Owen. Pada waktu itu Sukarno muda di tahun 1926 menulis tentang “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, orang menganggapnya wajar-wajar saja. Pada abad 20-an pemikiran Marx, lebih-lebih kritiknya yang tajam terhadap kapitalisme, berpengaruh luas di kalangan terbatas kaum intelektual muda pergerakan nasional Indonesia.
Tetapi waktu 35 tahun kemudian, presiden Sukarno memodifikasi trias menjadi NASAKOM, “Nasionalisme, Agama, Komunisme”, beliau telah meloncat ke dimensi yang lain, loncatan yang akhirnya mendaratkan bangsa Indonesia ke dalam malapetaka nasional, yaitu ulah Gerakan 30 September 1965 dengan segala akibatnya. Dari alam cita-cita beliau meloncat ke dalam alam keras perebutan kekuasaan politik. Beliau tidak cukup memperhatikan, bahwa ‘komunisme’ bukan sekedar aktualisasi Marxisme dan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) sebuah partai komunis tulen, dengan ideologi Marxisme-Leninisme tulen. Kekhasan partai itu, berbeda dengan partai-partai berbasis ‘nasionalis’ dan ‘agama’, adalah bahwa ideologinya, menolak pluralisme-demokratis. Partai-partai komunis di manapun mencari monopoli kekuasaan dengan tujuan untuk mendirikan sistem Marxis-Leninis di bawah pimpinan partai yang eksklusif.
Yang luput dari perhatian adalah bahwa partai komunis bukanlah salah satu pemain di antara partai-partai lain dalam arena kehidupan demokrasi. Begitu partai komunis berhasil memegang kekuasaan, dia tidak pernah akan melepaskannya secara sukarela. Dia akan menyingkirkan kekuatan-kekuatan politik lain. PKI dengan ideologinya tidak mungkin ditampung dalam pluralitas pola penghayatan atas dasar Pancasila. Kita juga tidak melupakan bahwa di Indonesia PKI pernah mengancam akan mengambil alih kekuasaan dan mengubah negara Pancasila menjadi negara komunis.
Di satu sisi pembubaran PKI oleh Orba dengan dukungan luas dari masyarakat beserta organisasi pendukungnya, dengan menutup jalan kembalinya PKI ada nilai positif, namun menyingkirkan ideologi komunis dari materi yang dipelajari di universitas dan perguruan-perguruan tinggi kurang benar, kalau tidak mau dikatakan salah. Karena mempelajari sesuatu, tidak sama dengan menganutnya, apalagi dengan menyebarkannya. Sebagai akibatnya, terjadi kebalikan dari apa yang dipesankan dalam Pembukaan UUD 1945; kehidupan bangsa tidak dicerdaskan, melainkan dibodohkan. Ideologi-ideologi yang dianggap berbahaya bukannya dihadapi secara kritis dan argumentatif, tetapi ditabukan dan dimitoskan. Padahal pemikiran Marx, diakui atau tidak, banyak mempengaruhi dunia, tidak bisa dibayangkan abad sekarang ini punya peradaban seperti yang kita lihat tanpa suntikan pemikiran Marxis.
Setelah berakhirnya perang bipolard, perang dingin antara Amerika (pengusung ideologi kapitalis) dan Uni Sovyet (pengusung ideologi sosialis) muncul istilah “pasar bebas” yang didengungkan oleh Amerika Serikat. Di dalam pasar bebas akan terjadi persaingan yang sangat tajam, para pemilik modal bebas memproduksi dan memasarkan barangnya di manapun, termasuk di Indonesia. Sementara negara pemegang modal besar sekarang ini, katakanlah adalah Amerika Serikat, ia akan menghanguskan negara pemodal kecil di negara ketiga. Memang lomba perdagangan di arena pasar bebas ini membuka peluang bagi siapa saja, namun bagi negara yang memiliki modal kecil, ketika memasuki pasar bebas, sama saja dengan bunuh diri, karena akan tergilas oleh eksploitasi negara pemodal besar. Tidak hanya di sektor ekonomi, dalam hal politik Indonesia juga berada di bawah bayang-bayang Amerika. Karena paparan ini hanyalah bola salju, dan sangat tidak mungkin menuangkan semuanya dalam karya tulis ini. Lalu pertanyaan yang muncul kemudian, sejauh mana peran filter Pancasila dalam menghadapi pengaruh dua ideologi dunia tersebut ?
Pertanyaan ini mungkin akan dapat menakar ‘kesaktian Pancasila’. Di samping itu, kita tidak bisa menafikan nilai-nilai yang mengitari Pancasila. Sebab, bagaimanapun Pancasila lahir dalam kultur sebuah masyarakat yang mayoritas beragama Islam.
Ideologi Pancasila dan Islam
Umat Islam di Indonesia sebagaimana di Turki juga mengalami dilema dalam melaksanakan perintah Tuhan seperti dalam surat al-Maidah ayat 44-45 dan 47, suatu perintah yang menyerukan agar umat Islam menetapkan hukum berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, tetapi mereka tidak dapat menuntut agar Islam dijadikan sebagai dasar negara dan semua hukum harus mendapat landasan formal dari al-Qur’an dan Hadits.
Sebetulnya, kegelisahan keagamaan bagi umat itu sudah terlihat pada masa sebelum kemerdekaan. Yang waktu itu pernah terjadi perdebatan ideologis tentang hubungan antara negara dan agama yang tercermin dalam polemik antara Sukarno (nasionalis sekuler) dengan Moh. Natsir (nasionalis Islam). Ketegangan antara kedua kelompok utama ideologi ini untuk sebagian besar menentukan corak dan perkembangan pembicaraan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)) pada bulan Mei, Juni dan Juli 1945. Perdebatan yang panjang dan tajam itu akhirnya membawa para anggotanya kepada satu kesepakatan atau perjanjian bersama yang terkenal dengan the Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.
Namun ketika Piagam Jakarta dibawa ke sidang pleno ke-dua dalam penyelidik timbul perdebatan yang sangat pelik. Titik kontroversialnya adalah tujuh kata yang terdapat dalam pigam terebut yang berbunyi : “Dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Latu Harhary seorang anggota yang beragama Protestan tidak menyetujui pencantuman seluruh anak kalimat tersebut. Akhirnya menghasilkan suatu kompromi untuk menghapus anak kalimat tersebut. Demikian halnya tahun 1959 ketika partai-partai Islam Indonesia pernah memperjuangkan Islam sebagai dasar negara tetapi ditolak dan gagal.
Kegagalan demi kegagalan dalam upaya eksternalisasi Islam dalam sistem kenegaraan ini adalah karena sebuah persepsi yang a-historis. Sebab, dalam catatan sejarah kita bersatu dalam wadah nasionalisme, yakni kesadaran kebangsaan yang telah dijajah selama 3,5 abad, pengalaman pahit inilah yang kemudian menjadikan seluruh rakyat Indonesia menjadi senasib sepenanggungan. Nasib ini pula yang menumbuhkan tekad untuk melawan penjajah. Kita bersatu bukan karena satu etnis, bukan karena satu agama, melainkan karena kesadaran untuk merdeka dari belenggu kolonialis barat.
Begitu pula, khususnya di Indonesia, Islam yang akan tumbuh subur di masa mendatang adalah Islam pluralis yang mampu bergandeng mesra dengan nasionalisme. Semangat Islam yang demikian telah ada 19 tahun yang silam, yakni ketika Musyawarah Besar Alim Ulama’ di Situbondo Jawa Timur Pada Tanggal 21 Desember 1983 (Muktamar NU ke 27) yang mencoba memposisikan hubungan dan kedudukan masing-masing, yakni Islam adalah sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi bangsa, dengan keputusan Muktamar ini, NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal NU, yang bukan sekedar taktik politik, tapi lebih berdasarkan pada prinsip-prinsip pendirian dasar NU. Para pemimpin umat Islam Indonesia, menurutnya, berpartisipasi aktif dalam perumusan Pancasila. Nilai-nilai mulianya sebangun dan didukung oleh prinsip-prinsip Islam. Keputusan penerimaan asas tunggal itu berbunyi :
"Pancasila dan Islam dapat berjalan berdampingan dan saling menunjang satu sama lain. keduanya tidak betentangan dan tidak akan dipertentangkan. Tidak perlu memilih yang satu dengan mengesampingkan yang lain".
NU menerima Pancasila sebagaimana hasil rancangan konstituante tahun 1945 dan tidak menghendaki perselisihan dalam menginterpretasikan Pancasila serta menolak pandangan yang mempersamakannya dengan agama.
Islam merupakan tindakan agama sedangkan Pancasila adalah pandangan hidupnya. Pemerintah selalu menekankan, tidak ada maksud untuk menjadikan Pancasila sebagai agama atau memperlakukan Pancasila seolah-olah agama. NU menanggapi pernyataan pemerintah itu dengan serius dan yakin pemerintah tidak mengajak NU menerima Pancasila dengan cara mereduksi keyakinan Islam. NU menerima Pancasila bukan dalam perngertian politik tapi lebih karena pemahaman hukum Islam.
Bagaimanapun menerima Pancasila sebagai asas tunggal adalah sangat logis, karena ia lahir dalam semangat nasionalisme-pluralis. Dalam menjaga nilai-nilai luhur yang terdapat dalam Pancasila dan upaya antisipasi terhadap munculnya ajaran Marxisme-Leninis yang telah mencoba merongrongnya, diperlukan beberapa upaya kongkrit, yakni :
1. Memahami Pancasila sebagai falsafah negara, baik secara filosofis maupun secara praktis. Sebab Pancasila sebagai wadah nilai-nilai keagamaan yang amat luhur di Indonesia.
2. Konsolidasi antar pemimpin agama di samping memperkuat komitmen keagamaannya, guna menjaga kerukunan beragama dalam keragamannya, yang tercermin dalam kebhinnekaan Pancasila. Dengan demikian bangsa Indonesia tidak mudah terpecah-belah oleh ideologi atau paham manapun.
3. Kerjasama yang simetris antara ulama dan umara’ (pemerintah dan intelejen TNI dan Polri) dalam upaya menjaga keutuhan bangsa dengan penghayatan terhadap nilai-nilai luhur Pancasila.
4. Reorientasi tentang sistem pendidikan nasional dengan memperhitungkan pembelajaran keberagamaan yang memadai. Karena nilai-nilai dalam agamalah yang kemudian juga akan menjadi tameng Pancasila.
5. Mengupayakan ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada kebutuhan dan mata pencaharian rakyat, inilah yang membedakan dengan sistem ekonomi kapitalis yang cenderung monopoli dan sistem ekonomi sosialis yang tidak mengakui hak individu.
Dengan pendekatan yang komprehensif, yakni sistem nilai, tokoh agama, umara’, pendidikan dan perekonomian inilah bangsa Indonesia akan terselamatkan dari bahaya laten ideologi atau paham yang bertentangan dengan Pancasila di era globalisasi yang tak terelakkan itu.
4 Comments:
so,bgmn dg seseorang yg mngatakan bhw dirinya pancasilais?apakah brrti dy tdk mngakui 1 agama bagi dirinya sndiri?
Seorang Pancasilais berarti mengakui keberadaan agama-agama lain selain agama yang dianutnya sendiri. Keberadaan agama diakui sebagai tuntunan agar dia mencapai cita-cita spiritual yang akan mengantarkannya pada cita-cita emosioanl amaupu cita-cita intelektual yang diinginkannya. Namun demikian, Pancasila hanya mengakui agama yang mengajarkan monotheisme. Hanya satu Tuhan yang diakui oleh bangsa Indonesia.
Tuhan itu satu, bangsa indonesia sangat tahu itu .pancasilais sejati adalah pengamal 5 sila dari pancasila.
Pancasila itu ada berapa 10 ? salah !
pancasila itu ada 8 ? salah! pancasila itu ada 7 ? salah ? Pancasila itu ada 5 ?.....Lha wong jawab 10 saja salah apalagi 5 !
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home