| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, August 03, 2004,10:42 PM
OTODA, 'APAKABAR' PESANTREN ?
sebuah refleksi kritis dan reorientasi sistem pendidikan pesantren

PENDAHULUAN

Pertama, bahwa dalam rentang sejarah yang jauh, sebelum kolonialisme berkembang di indonesia, pesantren telah memberi andil yang signifikan dalam membangun tatanan sosial; dalam masa kolonial, kiai-santri dan masyarakat juga ikut andil dalam percaturan nasional, mengusir penjajah. Pada masa kemerdekaan, khususnya sejak Orde Baru, era pembawa ‘wahyu pembangunan’ sampai sekarang, peran pesantren dipertanyakan. Ada apa dengan pesantren ? Kedua, bahwa otonomi daerah yang diiringi otonomi pendidikan akan memberi dampak tersendiri bagi dunia pendidikan baik terkait dengan konsep, kurikulum, support system maupun menagerial. Lalu bagaimana dengan eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan ?

Ketiga, “manifesto trobosan baru”: bertolak dari dua point di atas, kami bermaksud mengadakan kajian kritis dengan melihat realitas objektif pesantren terkait pula fungsi dan perannya, kemudian akan memberi refleksi kritis baik melalui pendekatan historis dengan menoropong kembali peran dan fungsi pesantren dalam realitas masa lampau untuk menarik benang merah apa yang menjadi semangat dan ciri eksistensi pesantren. Di samping itu, kajian wacana keislaman juga akan mewarnai tulisan ini. Dalam kajian ini penulis berusaha untuk tidak terperangkap pada langgam perdebatan kaum scripturalist dan essentialist, yang banyak mengemuka dalam discourse keislaman kontemporer, dimana kelompok pertama mengakui adanya diterminisme absolut teks, sedangkan kelompok kedua memandang teks sebagai entity nilai, yang mempunyai keterkaitan erat dengan konstruksi budaya lokal arab.

Pilihan hati ini, yakni menghindari perdebatan dua kelompok itu, lebih didasarkan pada pertimbangan mendasar, yakni perdebatan konsepsional kedua kelompok itu counter productive, dimana masing-masing kelompok mengambil posisi diametral dua kutub ekstrem yang berlawanan. Dalam konteks yang demikian, masalah tidak justru terselesaikan secara jitu. Kelompok yang satu mengklaim bahwa pemahaman mereka sudah bijak begitu juga dengan yang lainnnya. Adanya ketidaksepakatan sama sekali atas dasar-dasar pemahaman kedua kelompok akan memunculkan masalah baru yang memperkeruh permasalahan pertama. Masalah tidak malah terselesaikan melainkan menjadi masalah berantai, tasalsulul-masa’il.

Tidak demikian adanya, dalam kajian ini lebih mempertimbangan rana oprasional dalam menyikapi masalah secara efektif. Sehingga, dalam pendekatan ini, teks-teks keagamaan tidak lagi diperdebatkan secara konsepsional, melainkan menjadi sebuah preskripsi-preskripsi yang melejitkan makna rule of action, untuk kemudian dapat memberlakukan fakta-fakta sosial beserta motif-motifnya dalam sebuah komunitas, di sinilah ajaran islam akan menjadi lebih inklusif dan akomodatif-komplementer terhadap disiplin ilmu-ilmu kontemporer. Ketika itu, teks agama hanyalah menjadi “historical documentation” --yang dijadikan acuan bagaimana islam menyikapi problematika sosial bangsa Arab pada masa lampau-- yang terinstitusi dari Piagam Tuhan di alam Nirwana sana (huwa laisa bi harfin wa laa sautin). Kalau demikian, bukankah perumusan maqasid al-syari’ah adalah sebuah kecerobohan intelektual dan ‘mengada-ada’, kalau tidak mau dikatakan “terlalu lancang mencampuri urusan tuhan” yang irrasional itu, dengan mengintip Piagam Tuhan yang tak berhuruf dan tak bersuara itu. Perumusan inipula yang menjadikan eksistensi islam lambat-laun tertimbun oleh racun universalitas (toxin of universality) dalam eskalasi wacana global.

Pun dalam menyikapi sebuah teks hadis tidak lagi berkutat pada paradigma lama, yakni dengan melihat apakah hadis mutawatir, mashur atau ahad. Melainkan lebih didasarkan pada pertimbangan makna rule of action. Dengan metode pendekatan ini, ke-soheh-an hadist tidak lagi dilihat dari optik sanad atau perawi, melainkan seberapa mujarab ia memberikan makna-makna yang akan menjadi preskripsi untuk memberlakukan fakta sosial. Ada satu hal yang perlu dicatat bahwa kuatnya kontruksi gaya perdebatan kaum scripturalist dan essentialist tidak membebaskan kajian ini sepenuhnya, dimana mungkin akan ditemukan percik-percik pola perdebatan itu dalam tulisan ini. Hal ini bukan berarti ‘terobosan baru’ ini setengah-setengah, melainkan karena pendekatan ini masih merupakan bayi mungil dari sebuah pisau analisa masa depan dibanding pendekatan-pendekatan lainnya dan masih membutuhkan waktu.

Dalam tulisan ini, setelah menemukan beberapa kesangsian faktual pendidikan pesantren kaitannya dengan kritik historis dan wacana, penulis mencoba menawarkan beberapa solusi dan perencanaan praktis pendidikan pesantren dalam menyongsong otonomi daerah dan pendidikan.

REALITAS OBJEKTIF
Gambaran umum
Masa demi masa terus berganti, mulai pra-kemerdekaan, kemerdekaan ; era revolusi (Orla), pembangunan (Orba), era reformasi sampai sekarang, sebagaimana didengungkan oleh banyak orang, adalah era Indonesia baru yang memiliki agenda-agenda tersendiri. Misalnya globalisasi, otonomi daerah dan pendidikan, demokratisasi, reformasi kehidupan, pembenahan moral dan lainnya. Pergantian dan perubahan ini harus direspon oleh pendidikan. Pendidikan yang akan menjawab tantangan demi tantangan dalam perubahan tersebut. Pesantren sebagai lembaga pendidikan, kalau kita lihat, tidak punya kepekaan dalam merespon perubahan itu. Pesantren lebih mempertahankan nilai salafi dan independisinya tanpa mengkomunikasikan dengan realitas objectif dengan sagala perubahannya.

Banyak rancangan pembaharuan sistem pendidikan yang dibuat oleh pemerintah tidak menyentuh komunitas pesantren. Pesantren selalu dianggap memelihara ‘independensinya’ di luar gelanggang. Anggapan semacam ini memang benar. Pesantren secara kuantitas demikian besar perannya tapi termarjinalkan di luar arena kompetisi pembangunan negara. Ada beberapa data yang menguatkan hipotesa ini. Statistik Departemen Agama 2000 – 2001, sekitar 60,3 % dari 2.737.805 jumlah santri seluruh Indonesia tidak mengenyam pendidikan umum. Mereka hanya mengaji dengan sistem tradisional (sorogan). Program Wajib Belajar Pemerintah tidak menyentuh komunitas ini. Padahal secara kelembagaan, pesantren dalam menangani dan bersaing dalam mengelolah madrasah dan sekolah, perannya tidaklah kecil. Ini menunjukkan bahwa pesantren secara emosional bersinggungan dengan sistem pendidikan nasional sebagaimana pendidikan lain pada umumnya.

Persoalan ini semakin tampak jelas jika melihat pesantren harus menyeimbangkan antara kebutuhan kemodernan dan pola tradisionalismenya. Harus diakui bahwa pola salafiyah, tradisionalisme pesantren yang jumlahnya 66,0 % di seluruh Indonesia lebih banyak dibandingkan pesantren pola lainnya, seperti kombinasi modern dan salaf 28,7 % dan pesantren kategori modern 5,3 %. Karena itu, jika sistem pendidikan pesantren tetap bertumpu pada sistem salafi tanpa mengadakan pembenahan maka merupakan lonceng kematian bagi pendidikan pesantren di masa mendatang terkait dengan peran publik di era Indonesia baru yang mempunyai beberapa agenda itu. Masihkah pesantren akan mendapat eksistensinya di era baru ?

Gambaran khusus
Pembelajaran; untuk lebih tepat lagi dalam merefleksikan pola pendidikan pesantren secara kritis, ada baiknya menyimak pemikiran filsuf dan tokoh pendidikan berkebangsaan Brazil, Paulo Freire dalam bukunya yang sangat provkatif, pedagogy of the oppressed. Pendidikan, menurutnya, mempunyai dua sistem pembelajaran, banking system dan system posing yang merupakan antipoda sistem pertama. Pada sistem pertama, pembelajaran tak ubahnya seperti sistem perbankan, dimana ilmu bisa ditransfer dan dapat diberikan kepada orang lain. Guru ibarat nasabah yang harus selalu mengisi buku taplus, dalam hal ini adalah santri. Murid adalah sebuah tabung kosong yang harus diisi ilmu oleh guru.

Ciri pembelajaran yang monolog ini ternyata telah lama mengkristal (established) dalam kehidupan pesantren, dimana menguatkan adagium “guru tahu segala hal, sedangkan santri tidak tahu apa-apa”. Menguatnya adagium ini tak jarang melahirkan arogansi guru terhadap santri. Celakanya lagi, pembelajaran informatif-hafalan ini menjadikan santri kehilangan imajinasi, kreasi dan inovasi. Santri hanya dituntut untuk menghafalkan apa yang didapat dan dibaca oleh gurunya, tanpa ia harus peduli adanya kesenjangan antara nilai-nilai yang terjadi di masyarakat dengan hafalannya itu. Kecermelangan dan kecerdasan murid juga diukur dengan hafalan itu, otak diprogram hanya untuk menghafal, bukan bagaimana ia menggambarkan, merumuskan, dan memecahkan masalah.

Dalam konteks yang demikian, santri teralienasi dari masyarakatnya, insensabilitas dan tidak punya daya kepekaan menangkap dan menerjemahkan fenomena sosial yang berkembang di sekitarnya, yang berkaitan langsung dengan masalah yang dihadapinya dan kebutuhan masyarakatnya. Pendidikan semacam ini pada gilirannya akan menghalangi lahirnya daya kreasi dan kritisisme intelektual santri. Pada ujungnya, mereka tidak mampu untuk membaca realitas secara kritis-analitis sehingga dapat memberikan respons yang tepat.

Dalam pendidikan pesantren, santri banyak diorientasikan pada masa lampau ketimbang masa depan. Sikap futurism tidak menjadi bagian integral dari proses belajar-mengajar di lembaga pendidikan ini. Padahal dalam sikap sadar terhadap masa kini dan masa depan itu, produk suatu lembaga pendidikan dapat lebih fungsional dalam masyarakat, futurism bertujuan untuk memperkuat kemampuan output suatu institusi pendidikan agar dapat mengantisipasi dan mengadaptasikan diri dengan derap perubahan zaman.

Kurikulum; kurikulum pesanteren adalah banyak literatur keislaman klasik. Dimana santri lebih diprioritaskan pada penguasaan kitab-kitab klasik, termasuk di dalamnya tata bahasa arab, fiqh, ushul fiqh dan tasawuf. Walaupun sebagian pesantren mencoba mengadakan penyesuaian dengan kemodernan dengan mengadopsi kulikulum sekolah umum –tanpa berpretensi memberi dikhatomi agama-umum, namun sistemnya lebih menekankan pada penguasaan keislaman klasik.

Pendek kata walaupun di pesantren ada sekolah SD, SLTP, SMU, PT, namun masuk sekolah Diniyah menjadi prasyarat utama untuk masuk sekolah umum. Sehingga beban materi yang harus ditanggung santri lebih banyak dibandingkan dengan lembaga pendidikan selain pesantren, yang mengakibatkan lemahnya penguasaan materi. Dalam konteks ini, fenomena pendidikan pesantren “beragam” tapi “seragam”. Dua kata paradoxical ini adalah untuk menggambarkan sikap ‘setengah hati’ pesantren dalam menyikapi nilai-nilai kemodernan dan kesalafan. Secara kelembagaan dalam pesantren telah ada keragaman dimana santri diberi pemilihan sesuai keinginan dan kecenderungannya, namun seiring dengan keragaman itu dibangun pula sistem yang menegasi karagaman itu pada rana kuwalitas. Ini terlihat dari output pesantren yang seragam secara kuwalitas keilmuan, yakni ilmu agama. Keseragaman ini pula yang akhirnya menjadi picu konflik di kalangan alumni pesantren terkait dengan aktualisasi diri di masyarakat.

Alumni pesantren, setelah kembali ke masyarakat, kebanyakan menjadi guru ngaji atau kiai, sedikit di pos-pos lainnya. Pos-pos birokratis-strategis tidak bisa diisi oleh santri, walau ada sebagian santri yang bisa memasuki wilayah ini, namun belum bisa dikatakan berhasil, kalau tidak mau dikatakan menjadi tambah runyam (lihat kasus Bupati-santri atau Anggota Dewan-santri). Kalaupun ada yang gemilang dalam pemerintahan tentu proses pematangan mereka tidak di pesantren penuh, atau ia banyak belajar secara otodidak. Kwalitas alumni yang demikian disebabkan sikap setengah hati pesantren dalam memberi respon terhadap perubahan objektif yang menjadi tantangan pendidikan masa kini.

Relasi kiai-santri; terasa sulit mengandaikan adanya dialog yang berimbang dan komunikasi yang tidak tegang antara santri dan kiai. Sebab ada keyakinan yang established bahwa kiai adalah sosok kebenaran otoritatif. Kiai tak ubahnya pemilik kebenaran tunggal di pesanten. Pendapat dan kebijakannya cenderung tak terbantahkan, tugas dan kewajiban para santri bukan mempertanyakan mengapa dan dengan alasan apa pendapat dan kebijakan itu di dasarkan. Bagi santri hanya ada satu pilihan, tinggal mematuhi dan melaksanakannya. Gugatan terhadap kebijakan kiai dianggap menyalahi etika, bahkan pengingkaran, yang pelakunya akan mendapatkan ancaman sangsi moral. Pola relasi ini juga akan merembes pada bagaimana menejerial pesantren yang sering mendapat kritik dan diidentikkan dengan menejemen personal.

ANALISA
Kritik historis
“Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah”
Begitulah semboyan orang Aceh, yang melambangkan puncak hubungan intim ajaran islam dengan adat. Hasil gemilang itu tentu dengan ongkos mahal, yakni gerakan kultural pembawa dan penyiar islam yang lama memakan waktu. Hingga akhirnya islam tersebar ke seluruh nusantara. Semua itu tidak lepas dari peran pendidikan islam tradisional, pesantren. Selang beberapa abad kemudian, penjajah Barat datang ke Indonesia, kesinambungan bangunan budaya yang berlandaskan ajaran islam mengalami hambatan. Dalam rentang masa yang lama, 3 abad lebih, penjajah terus mengeksploitasi kekayaan bumi pertiwi dan mengadakan penetrasi budaya dan agama, penjajah terus mempersempit bahkan meluluh-lantahkan tatanan sosial itu.
Hampir setiap penjajahan di muka bumi ini selalu disertai dengan penetrasi budaya dan agama untuk memuluskan jalannya kolonialisasi. Para kolonialis membangun tatanan sosial yang nyaman untuk diri mereka. Tatanan sosial, pada waktu itu, dianggap tidak mendukung keinginan mereka, dimana banyak diwarnai oleh ajaran Islam dan budaya ketimuran. Proses penetrasi budaya dan agama oleh kolonialisme barat, pada ujungnya, jelas memberangus tatanan sosial yang telah dibangun oleh para ulama. Banyak tokoh agama Islam yang merasa terusik dan kecewa oleh perlakuan penjajah yang demikian, tak jarang terjadi perlawanan fisik yang dilakukan oleh tokoh agama Islam. Seperti, perlawanan Pangeran Diponogoro di Jawa, Cut Nyak Dien dan Teuku Umar di Aceh dan beberapa tokoh islam lainnya.

Kegagalan-kegalan beberapa tokoh islam dalam melawan penjajah kemudian menjadi pelajaran hidup untuk menggunakan strategi baru, yakni politik isolasi. Dalam strategi ini para ulama, yang telah lama merasa ‘sumuk’ dengan prilaku kolonialis, kemudian pergi menjauhi hiruk-pikuk perkotaan, membabat hutan di daerah pedalaman. Di sanalah para ulama kembali membangun tatanan sosial yang telah diporak-porandakan oleh penjajah barat itu. Di daerah pedalaman, para ulama mendirikan kembali pesantren yang terbebas dari ‘virus’ ajaran dan paham kolonialisme Barat.

Di pesantren ini para ulama mendidik umat dan menyusun kekuatan rakyat dengan dibekali spritualitas yang tinggi, yakni ajaran tauhid dan semangat pembebasan melawan dan mengusir penjajah dari tumpah darahnya. Hal ini logis. Dalam ajaran islam ada konsep jihad dan syahid. Yang pada gilirannya, dari pesantren inilah lahir pejuang-pejuang gigih tanpa pamrih, berada di garda terdepan dalam mengusir penjajah. Ada Laskar Hizbullah, kumpulan santri pesisir utara; kiai-kiai NU, seperti Kiai As’ad di Situbondo dan masih banyak lagi tokoh-tokoh NU lainnya yang tidak terdokumentasi secara jelas dalam sejarah.

Yang perlu digaris bawahi dari toropong sejarah ini adalah peran sosial pesantren dalam membangun tatanan sosial yang dicita dan peran nasionalnya, mengusir penjajah.

Kritik wacana
Sebelum berbicara konsep pendidikan islam, terlebih dahulu akan ditelaah konsep manusia menurut islam. Karena pendidikan merupakan sebuah proses yang membantu pertumbuhan seluruh unsur kepribadian dan ciri eksistensi manusia. Konsep manusia menurut islam tentu berbeda dengan konsep Barat. Membahas konsep manusia dalam islam memerlukan interfensi wahyu dan hadis sebagai dua landasan utama dalam ajaran islam. Firman Allah dalam al-Qur’an;

Artinya; “Kami menjadikan manusia dari intisari tanah. Kemudian Kami jadikan ia mani yang tersimpan dalam wadah yang kokoh (nutfah) kemudian Kami ciptakan mani menjadi segumpal darah, dan semupal darah kami jadikan tulang-belulang dan tali tulang-belulang itu kami bungkus dengan daging, kemudian kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. maha Suci Allah, pencipta yang paling baik” (al-Mu’minun ayat 12-14).
Sabda Nabi;
Artinya; “kamu diciptakan dalam kandungan ibu 40 hari berupa mani, selama itu pula gumpalan darah, dan selanjutnya salama itu pula gumpalan daging, kemudian dikirimkannya malaikat dan ia hembuskan kedalamnya ruh” (HR. Muslim)

Dari ayat al-Qur’an dan hadis di atas, dijelaskan kronologi proses penciptaan manusia, 40 hari berupa sperma, 40 hari berupa embrio, 40 hari berupa tulang yang terbungkus daging dan pada usia 4 bulan dihesbuskanlah ruh ke dalamnya. Pada kronologi itu, perkembangan sperma sampai menjadi tulang yang dibungkus daging adalah dengan hayat, waktu itu ruh masih belum dikaruniakan dan memang ruh bukan hayat. Perbedaan keduanya, akan makin jelas terlihat pada; fisik dan hayat juga ada pada binatang, sementara binatang tidak dikaruniai ruh. Jelas, dari paparan ini bahwa unsur manusia menurut islam adalah terdiri dari fisik, hayat, dan ruh. Fisik berupa raga-jasad, hayat berupa tenaga atau daya kehidupan, sedangkan ruh berupa jiwa yang menurut Harun Nasution terbagi dua, yakni akal dan rasa.

Ketiga unsur manusia itu bersifat integral-komplementer dalam eksistensinya sebagai mahluk individu (al-Tahriim; 7), mahluk sosial (al-Hujarat; 13), mahluk susila (al-Qalam; 4, al-Ahzab; 21) dan mahluk riligius (al-‘A’raf; 172), pendidikan islam adalah menerapkan integritas keseluruhan unsur yang dimiliki manusia, karena hanya dengan begitu akan terhindar dari proses disintegritas personal, disintegritas sosial, disintegritas susila, dan disintegritas riligius. Dalam konsep islam kesemuanya harus seimbang antara jasmani dan rohani, firman Allah; “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal salih…” (al-‘Asri; 1-3), “Siapa yang beramal berupa perkara yang salih dan ia beriman, maka usahanya tidak akan sia-sia, dan kami mencatat kesemuanya” (al-Anbiya’;94).

Ketimpangan dalam pengembangan unsur manusia yang dianugrahkan itu akan sangat mengganggu utuhnya kepribadian, lebih-lebih jika diabaikan salah satunya, maka yang terjadi; a) tubuh sehat dan kuat, tetapi akalnya bodoh karena tidak memperoleh pendidikan layak, b) akalnya cerdas dan pandai karena memperoleh masukan ilmu yang memadai, tetapi tubuh atau fisik sakit-sakitan dan lemah karena kekurangan gizi dan pengobatan, atau c) fisik dan akal baik, namun hatinya tidak berfungsi, karena refleksi keimanan dan keislamannya lemah. Hal tersebut tentu tidak diinginkan, karena jauh dari idealisasi hakekat manusia yang diupayakan oleh pendidikan islam.

Tidak hanya berhenti di situ, dalam konsep pendidikan islam juga ada sifat berkesinambungan antara pelajaran di lembaga formal dan nilai-nilai yang hidup dalam sebuah masyarakat. Nabi bersabda; “uthlub al-ilma min al-mahdi ilaa al-lahad”. Dari hadis ini, pendidikan lebih bersifat berkesinambungan sepanjang hidup manusia (long life education). Pendidikan tidak hanya di lembaga formal, SD, SLTP ila akhiri, melainkan lingkungan biologis juga sebagai media menuntut ilmu.

Murid selain menuntut ilmu di sekolah, dia juga menimbah pengalaman dari lingkungannya. Ketika itu, pendidikan formal hanyalah merupakan salah satu dari media pendidikan yang berfungsi sebagai miniatur sosial dimana murid akan mendiskusikan hal-hal yang ia temui di masyarakatnya, posisi guru adalah sebagai fasilitator yang mengarahkan jalannya diskusi. Dalam sistem pendidikan ini tidak lagi monolog, naratif, dan ‘teacher centered’, melainkan dialogis. Dalam konteks tersebut, kedudukan masing-masing guru-murid menjadi equal, untuk menerima, memberikan kritik dan masukan konstruktif dimana sekolah atau kampus benar-benar menjadi lembaga ilmiah yang berisikan interaksi dinamis guru-murid.

Sebagai konsekwensi logis, pendidikan merupakan tindak lanjut dan pengembangan nilai-nilai yang telah membudaya dalam masyarakat. Sekolah merupakan pusat sosialisasi dan pembudayaan sikap, moral dan tingkah laku yang berkembang di masyarakat. Kita juga tidak perlu apriori dalam mengambil contoh. Misalnya Amerika, yang memproklamasikan diri 1776. Amerika sadar adanya pluralisme ras dan budaya, ia harus membentuk masyarakat baru yang bisa memayungi terhadap sub-kultur dan etnis yang ada. Dan, Amerika berhasil menjadikan pendidikan sebagai tempat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai pluralisme dan demokrasi, hingga Amerika mampu melebihi nenek moyangnya, Eropa.

Dari paparan konseptual di atas, jelas pendidikan islam inklusi terhadap ilmu-ilmu kontemporer (keagamaan, farmasi, sosiologi, politik, ekonomi, hukum bahkan olahraga dll), equal antara guru-murid tidak feodalistik, dan tidak dikhatomis antara ilmu agama dan ilmu umum, nabi bersabda; “Allimuu auladakum al-sibahata wa al-rimayah”. Hadis ini merupakan sebuah terobosan radikal pada masanya, dimana pendidikan berfungsi sebagai proses pembentukan karakter kewiraan atau ketangkasan dalam era revolusi islam terhadap budaya Jahiliyah waktu itu.

OTONOMI DAERAH
Melalui UU No. 22/1999, UU No. 25/1999 dan PP No. 25/2000 Otoda diundangkan. Menyusul kemudian UU No.21/2001 dan UU No.18/2001 yang memberikan otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kedua UU dan PP itu merupakan landasan penyelenggaran Otoda yang merupakan salah satu wujud perubahan nyata yang sangat drastis sebagai hasil reformasi dalam penyelenggaraan negara kesatuan.

Dalam UU No. 22/1999 secara tegas diberlakukan disentralisasi yang mengikuti pola general competence atau otonomi luas, kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal serta kewenangan bidang lain yang meliputi perencanaan nasional. Daerah mempunyai kewenangan dan tanggungjawab yang lebih luas, secara proporsional dalam pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Hal ini memberi tuntutan tersendiri bagi pemerintah daerah untuk proaktif mengantisipasi permasalahan yang ada serta mencari cara pemecahan terbaik, melalui persiapan dan perencanaan pembangunan daerah dalam segala bidang, salah satu masalah yang paling mendasar dan memprihatinkah adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang kemudian menjadi landasan gagasan otonomi pendidikan untuk mempersiapkan sumber daya manusia sesuai dengan harapan, tuntutan dan kebutuhan daerah.

REOREINTASI PENDIDIKAN PESANTREN
Otonomi pendidikan merupakan sebuah keniscayaan sebagai bagian dari wujud nyata disentralisasi pusat-daerah, kerena bagaimanapun negara yang pluralistik dan seluas Indonesia, dengan 2000 juta jiwa dan 218 kepala suku dengan 580 bahasa. Pemerintah pusat akan kewalahan dalam mengidentifikasi permasalahan pendidikan yang terjadi di daerah. Pemerintah tidak akan mampu mengupayakan pendidikan yang representatif, sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan daerah. Karena bagaimanapun pendidikan selalu terkait dengan realitas sosial yang tidak bisa diatur dari pusat.

Dalam otonomi daerah yang melahirkan otonomi pendidikan merupakan pembalikan paradigmatik watak negara Orde baru, dimana tokoh agama tidak lagi merupakan alat negara yang relatif sangat otonom, kedap dari pengaruh politik popular kewarganegaraan dan sangat aktif-intervensionis itu. Bahkan ditengarai menjelang kejatuhannya, Sueharto dan pemimpin-pemimpin islam dalam puncak keintiman mahligai “politik sorgawai” (Pembentukan ICMI, pengesahan UU Pengadilan Agama, kebolehan memakai jilbab di sekolah). Lahirnya era ini adalah merupakan picu peran baru tokoh islam, kiai, terutama dalam membangun pendidikan pesantren masa depan.

Dalam konteks demikian, juga masih terkait dengan realitas objektif dan pendekatan analisa di atas, pesantren yang secara emosional terkait dengan pendidikan perlu mengadakan penataan ulang (reinventing) dan pembenahan dari dalam, sehingga tetap eksis dan outputnya mampu memainkan peran-peran signifikan dalam masyarakat. Pembenahan dan perombakan itu meliputi empat aspek mendasar. Pertama, konsep yang meliputi visi-misi pendidikan pesantren. Konsep ini harus berpijak pada bagaimana islam memandang manusia, pendidikan pesantren adalah bertujuan membantu pertumbuhan seluruh unsur kepribadian manusia (fisik, hayat dan jiwa) dan ciri eksistensi manusia itu. Karena hanya dengan begitu akan terlahir integritas personal, integritas sosial, integritas susila, dan integritas riligius.

Kedua, materi atau kurikulum yang mendukung konsep, sebagai konsekwensi konsep pendidikan pesantren di atas, maka perlu ada pembenahan dan perombakan kulikulum pesantren. Kurikulum pesantren tidak lagi identik dengan keagamaan belaka. Itu hanya sebagian. Kurikulum pesantren masa depan berupa; farmasi, sosialogi, politik, teknologi, informatika, komunikasi, ekonomi, hukum, tekhnik, bahkan olah raga (bisa jadi salah satu pemain sepak bola Timnas lahir dari pesantren), dengan dasar spesialisasi disiplin ilmu tertentu dengan pola pembelajaran yang memberdayakan. Pesantren tidak lagi menjadi broker tradisi, ia harus melangkah jauh melampaui tradisi, karena pradaban manusia telah jauh meninggalkan tradisi.

Ketiga, support system, terutama masalah finansial, pembenahan dan penataan ulang yang bertumpu dan berfokus pada kebutuhan dan harapan stakeholder regional bahkan nasional dan pembangunan daerah merupakan kebijakan dengan fungsi ganda; pertama, pesantren melahirkan alumni yang mampu berperan aktif dalam masyarkat. Kedua, pesantren akan menjadi mitra Pemda (dengan tanpa mengabaikan perannya sebagai bagian dari civil society) dalam peningkatan dan penyediaan SDM. Pesantren akan mendapat penganggaran tetap dari Pemda. Terus terang, sebagian pesantren masih menganggap tabu hal ini, bahkan penganggaran untuk pendidikan masih dianggap biaya bukan investasi. Di samping itu, pesantren, yang memang sejak awal telah mandiri dalam keuangan, perlu terus memperkuat sumber-sumber finansial yang dimilikinya, juga meningkat dukungan dan simpati masyarakat yang di dalamnya ada pengusaha terhadap pesantren untuk menghindari ketergantungan langsung terhadap Pemda setempat.

Keempat, menejerial, menyangkut hal ini kiranya perlu merujuk pada nilai-nilai filososif dan visi-misi di atas dimana pendidikan lebih diarahkan pada penumbuhan unsur-unsur kepribadian dan ciri eksistensi manusia yang diorientasikan pada pembentukan sikap kritis, peran aktif dan rasa tanggungjawab (sense of responsibility), sehingga pesantren tetap mendapat tempat di hati masyarakat. Kesemuanya ini tentu tidak lepas dari inti menajemen (planning; jangka pendek dan jangka panjang, organizing, actuatting dan controlling) yang tidak personal.

Kesemua itu memang perlu ongkos mahal, yakni kemauan membaja, kemampuan baik secara mental maupun materi, dan keterbukaan. Sehingga lulusan-lulusan pesantren mempuni dan handal dalam mengambil peran di era baru. Hal ini senada dengan Pupuh Fathurrahman, pesantren masa depan harus mampu melahirkan insan-insan yang memiliki tiga karakter, yaitu : (a) Religius skillfull people, yaitu insan muslim yang akan menjadi tenaga-tenaga terampil, ikhlas, cerdas, mandiri, iman yang tangguh, dan utuh. Sehingga religius dalam sikap dan perilaku, yang akan mengisi kebutuhan tenaga kerja di dalam berbagai sektor pembangunan; (b) Religius community leader, yaitu insan Indonesia yang ikhlas, cerdas dan mandiri akan menjadi penggerak yang dinamis dalam transformasi sosial budaya dan sekaligus menjadi benteng terhadap akses negatif pembangunan dan mampu membawakan aspirasi masyarakat, dan melakukan pengendalian sosial (social control); (c) Religius intelektual, yaitu mempunyai integritas kokoh serta cakap melakukan analisa ilmiah dan concern terhadap masalah-masalah sosial.

Disamping alumninya di atas, pesantren juga dapat menempatkan posisinya sebagai lembaga kegiatan pembelajaran masyarakat yang berfungsi menyampaikan teknologi baru yang cocok buat masyarakat sekitar dan memberikan pelayanan sosial dan keagamaan, sekaligus memfungsikan sebagai laboratorium sosial, di mana pesantren melakukan eksperimentasi pengembangan masyarakat, sehingga tercipta keterpaduan hubungan antara pesantren dengan masyarakat secara baik dan harmonis, saling menguntungkan dan saling mengisi, yang nantinya dari sinergisitas ini akan terlahir santri dan masyarakat yang dapat berperan aktif dalam otonomi daerah dan persaingan global.

Tidaklah seorang muslim bijak membiarkan islam menjadi arang di tengah percepatan peradaban manusia global.