| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, November 30, 2005,11:27 AM
FIQH REALITAS
Alhamdulillah buku FIQH REALITAS, respon santri Ma'had Aly terhadap wacana hukum islam kontemporer yang merupakan kumpulan hasil diskusi teman-teman Ma'had Aly angkatan ke IV, telah terbit. buku ini diterbitkan oleh Pustaka Pelajar dengan tebal halaman 384. Editor buku ini adalah Dr. H. Abu Yasid, LL.M, dosen Ma'had Aly yang menempuh S2 di International Islamic University Islamabad, Pakistan dan menyelesaikan Ph.D di University Malaya Kuala Lumpur, Malaysia, dengan spesialisasi Islamic Law.

Saya sangat bangga karena jerih payaH santri Ma'had Aly (selanjutnya disebut MA) terutama angkatan kami mendapat apresiasi dari percetakan Pustaka Pelajar, lebih-lebih kesediannya untuk menerbitkan buku tersebut. karena bagaimanapun di kalangan santri MA ada semacam tanggungjawab moral untuk menerbitkan satu buku atau lebih bagi setiap angkatan dimana angkatan sebelumnya telah juga terbit buku FIQH RAKYAT berkat kerjasama MA dengan LKiS.

Dari dua judul buku -terbitan LKiS MA angkatan III dan terbitan Pustaka Pelajar MA angkatan ke IV- tampak sebuah perbedaan yang mungkin perlu digarisbawahi bahwa buku pertama adalah lebih menonjolkan sisi politiknya berupa sensitivitas relasi kuasa yang mempersinggungkan Fiqh dengan kekuasaan. Sedangkan buku yang kedua adalah lebih menonjolkan sisi ilmiahnya seputar fiqh, dimana pada pengantarnya mencoba menggambarkan secara utuh pergulatan teks dan realitas, juga mengenai perdebatan antara kelompok liberal vs literal yang cenderung legal-formal mengenai inti syari'ah dalam rentang waktu yang panjang, banyak menyita waktu dan menyandera. Buku ini juga mencoba menawarkan apresiasi baru, yakni aksiologi dengan mengilas-balik kedudukan Nabi ketika menerapkan semisal hukuman potong tangan dan lain-lainnya. ini menjadi sangat menarik.

Namun walaupun demikian tak jarang santri MA mendapatkan stigma bahwa santri MA dalam mengintisbatkan hukum fiqh kadang terlalu mangabaikan teks-teks agama, dan mungkin dengan terbitnya buku kedua ini stigma itu kian memudar.. saya juga sertakan pengantar buku FIQH REALITAS, respon santri Ma'had Aly terhadap wacana hukum islam kontemporer,

Selamat membaca..


=========================

PENGANTAR EDITOR FIQH REALITAS

Fiqh : pergulatan teks dengan realitas
Kata sebagian orang, Fiqh merupakan sumber keterbelakangan ummat. Alasannya sederhana, dengan mangapresiasi Fiqh yang terfragmentasi dalam berbagai lembaran kitab kuning, tidak jarang kita terkondisikan oleh realitas masa lalu secara apa adanya tanpa gugatan historisitas. Kalangan lain mengatakan sebaliknya, Fiqh merupakan sumber dinamisme, karena ia tak lain adalah produk ijtihad yang dikreasikan oleh para Juris Islam. Sebagai kreasi ijtihad, Fiqh tentunya tidak bisa lepas dari konteks sejarah kapan dan di mana ia lahir. Dengan demikian, dasar pijakan Fiqh tidak semata berupa teks (nash) ajaran suci, tetapi juga realitas masyarakat fiqh itu sendiri sebagai objeknya.

Dalam sejarah kelahirannya, bangunan fiqh sering muncul ketika persoalan kemanusiaan di masyarakat mengemuka dan perlu direspons. Dengan demikian, asumsi fiqh sebagai sumber dinamisme memiliki relevansinya tersendiri karena ia lahir untuk merespons dinamika masyarakat. Bahkan tidak jarang Fiqh dinilai sebagai salah satu epistemologi ilmu kewahyuan yang paling konkret bersentuhan langsung dengan realitas. Pijakan Fiqh tidak semata otoritas normatif yang melangit, tetapi juga penghayatan terhadap realitas objektif di muka bumi. Dalam kaitan ini, tidak mengherankan jika tipologi madzhab Fiqh dalam bentangan sejarahnya selalu dilatari konteks realitas sekitarnya.

Madzhab fiqh Hanafi, misalnya, tampil dengan performa rasionalisme-nya karena Imam Abu Hanifah (w. 150 H) sebagai founding father-nya lahir dan dibesarkan di masyarakat perkotaan yang cenderung berpikiran rasional, bahkan permisif. Karenanya dia lebih sering menggunakan dalil analogi (qiyas) ketimbang teks hadith yang terkadang diragukan otoritas kesahihannya. Sebaliknya, Imam Malik (w. 179 H), yang lahir dan dibesarkan dalam komunitas Madinah yang establish, cenderung membangun formula madzhab Fiqh tradisional. Bangunan Fiqh madzhab Maliki, dengan formula demikian, merupakan pelestarian terhadap amalan Ulama’ Hijaz (Madinah) yang sudah mentradisi secara kokoh dan mapan.

Persinggungan Teks dan Realitas
Persinggungan teks dengan realitas memiliki maknanya tersendiri karena sejatinya teks lahir bukan dalam ruang yang kosong. Sebaliknya ia selalu muncul seiring konteks realitas yang terus berkembangan. Sudah barang tentu teks dalam hal ini memiliki pemaknaan luas menyangkut diktum-diktum ayat yang terintegrasi dengan konteks pengalaman sejarah ummat manusia. Kenyataan sejarah juga menunjukkan terjadinya dialog integral antara teks al-Qur’an, teks al-Hadith dan realitas masyarakat. Ketika terjadi persoalan hukum di masyarakat lalu teks al-Qur’an turun merespons. Selanjutnya, jika respons al-Qur’an dianggap kurang memadai lalu teks al-Hadith turut menjembatani dan menjelaskan detail persoalan yang mesti diselesaikan. Dengan demikian, keberadaan Nabi saat itu dapat diposisikan sebagai mediator antara wahyu Tuhan dengan realitas masyarakat. Setelah Nabi wafat, posisi mediator seperti itu dilanjutkan oleh para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ al-Tabi’in, serta para Juris Islam dan para Intelektual (ulama’) sampai sekarang. Karena itu, pergumulan teks dengan ralitas sesungguhnya terjadi sejak masa Nabi sampai sekarang.

Integrasi teks dan konteks realitas ini perlu dielaborasi secara sistematik karena sejatinya hukum tuhan (Syari’ah) tidak lahir kecuali untuk konteks kesejahteraan dan kemaslahatan ummat manusia sepanjang sejarahnya. Nasr Hamid Abu Zaid, pemikir Islam Liberal asal Mesir, dengan mengutip kata-kata Sayidin Ali ra pernah menandaskan bahwa al-Qru’an adalah teks yang diam, hanya manusialah yang membuatnya hidup dan berbicara. Dalam kesempatan lain Nasr Abu Zaid menengarai bahwa peradaban Islam yang berkembang saat ini adalah peradaban teks. Begitu sentralnya posisi teks sehingga mampu mengembangkan dasar-dasar peradaban dan ilmu pengetahuan. Bagi Nasr Abu Zaid, bukanlah independensi teks yang dapat mengkerangkakan lahirnya kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, kerangka budaya dan pantulan ilmu hanya bisa timbul melalui pergualatn panjang ummat manusia dengan realitas sosialnya, di samping perdebatan manusia dalam pemaknaan teks itu sendiri.

Pentingnya posisi teks tidak dapat dimaknai bahwa dimensi konteks dan realitas dapat diposisikan di level inferior. Sebalinya, keduanya –teks dan realitas- mempunyai hubungan komplementer dalam proses pergulatan pencarian wujud mashlahah sebagai ending atau tujuan akhir disyari’atkannya ajaran suci. Begitu sentralnya posisi konteks realitas sehingga Imam al-Qarafi (w. 684 H), seorang Ulama’ dalam madzhab Maliki, pernah mengharamkan pemberian fatwa bilamana materinya bertentangan dengan adat istiadat setempat. Dalam maxim (kaedah) hukum Islam juga disebutkan, al-‘Adah Muhakkamah (adat kebiasaan itu dapat dijadikan dasar hukum). Dalam sebuah hadith-nya Nabi juga pernah bersabda “ ma ra’ahu al-muslimunan hasanan fa huwa ‘indaallahi hasanun (apa yang oleh ummat islam dipandang baik maka di sisi Allah pun hal tersebut dianggap baik pula). Bahkan dalam hadith-nya yang lain Nabi pernah menggaransi ummatnya untuk tetap berada pada jalan yang benar, la tajtamu’u ummati ‘ala dlalalah (ummatku tidak akan berkumpul menuju kesesatan). Maksudnya, apa yang menjadi keputusan bersama di kalangan mereka itulah jalan terbaik seusuai prinsip-prinsip umum ajaran agama.

Berbagai dalil di atas menyiratkan betapa ummat manusia diberi ruang cukup berarti dalam menfungsikan diri manjadi mediator teks dan konteks. Fungsi mediator ini bukan saja perlu tetapi justru niscaya mengingat jarak historis yang begitu panjang membentang antara masa pewahyuan teks dengan era kita sekarang. Dalam komposisi ayat al-Qur’an sendiri, kita temukan dua term yang saling melengkapi, term ayat qur’aniyyah dan ayat kauniyyah. Jenis pertama adalah ayat-ayat dalam al-Qur’an yang secara verbal dan tersurat diwahyukan oleh Allah SWT. Sementara jenis ayat kedua merupakan ayat realitas yang bersentuhan dengan gejala alam dan jagat raya. Jika jenis ayat pertama dapat ditelusuri pemaknaannya secara semantik dan verbal, jenis ayat kedua memerlukan daya nalar dan tafakkur (perenungan) tentang kebesaran Tuhan dengan segala ciptaannya. Dengan kata lain, ayat kauniyyah dalam al-Qur’an dapat memantulkan daya kreativitas nalar manusia untuk selalu berpikir logis menyikapi realitas hidup.

Untuk menelusuri konteks yang melatari proses pewahyuan, dalam studi ilmu al-Qur’an dan al-Hadith lalu muncul semisal teori asbab al-nuzul (sebab musabab turunnya al-Qur’an), asbab al-wurud (sebab musabab turunnya al-Hadith), perinsip al-tadarruj fi al-tasyri’ (penahapan datangnya Syari’ah), nasih mansukh (teks ayat yang satu dapat mengganti kedudukan hukum ayat lain), al-ta’arudl wal al-tarjih (mekanisme seleksi jika terjadi polarisasi teks) dan lain semacamnya. Teori-terori ilmu seperti ini mungkin tidak serta-merta dapat menyelesaikan persoalan interelasi teks dengan konteks (realitas). Tapi sekurang-kurangnya ilmu seperti itu dapat mengantarkan kesadaran kita akan pentingnya menyingkap kaitan inhern antara teks wahyu dengan konteks sosiologis ummat manusia.

Dikatakan tidak dapat serta-merta menyelesaikan persoalan karena menyikapi persoalan teks itu sendiri masih sangat bias bahkan rentan perdebatan. Dalam tradisi ilmu ushul Fiqh, misalnya, muncul maxim al-‘ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi khushush al-sabab (yang menjadi pegangan adalah keumuman redaksi teks, bukan kekhususan sebab turunnya teks). Kaedah yang menjadi pegangan jumhur (mayoritas) para Juris Islam ini jelas menempatkan universalitas teks dalam posisi superior. Sementara konteks sejarah pengalaman manusia ditempatkan dalam posisi partikular yang inferior. Kenyataan seperti ini pada gilirannya dapat merobohkan bangunan konsep asbab al-nuzul dan lain-lainnya. Yang dengan susah payah dibangunnya menjadi epistemology ilmu tersendiri. Walaupun kaedah ini tidak dapat dipraktikkan secara general pada semua teks mengingat tidak semua teks memiliki pola hubungan umum redaksinya di satu pihak dan khusus sebab musabab turunnya di pihak lain. Sebaliknya, tidak sedikit teks ajaran yang memiliki pola sama-sama umum baik redaksi maupun sejarah diturunkannya, atau sebaliknya, baik redaksi teks maupun sebab musabab diturunkannya sama-sama bersifat khusus. Dalam kaitan yang ini distorsi penggunaan ilmu semacam asbab al-nuzul dapat dihindarkan.

Namun lepas dari persoalan generalisasi ini, penerapan kaedah tersebut mengabaikan aspek historisitas pewahyuan teks. Padahal kajian historitas ini mempunyai peran cukup sentral memperdekat bentangan jarak historis antara masa teks diproduksi dengan realitas sosiologis sekarang. Keprihatinan seperti inilah yang kemudian membuat sebagian kecil (minoritas) Juris Islam menggulirkan kaedah kebalikan sebagai antitesa, al-ibrah bi khushush al-sabab la bi’umum al-lafdz (yang menjadi pegangan adalah partikular sejarah kelahiran teks, bukan ke-umuman redaksi teks). Tidak seperti kaedah sebelumnya yang mengangkat supremasi teks di atas segalanya, kaedah ini cenderung menempatkan superioritas konteks sejarah di atas keumuman dan keuniversalan redaksi teks. Ini bukan berarti kaedah ini lalu luput begitu saja dari defect ataupun kelemahan metologis. Sebab dengan penerapan kaedah ini keberadaan teks praktis tidak dapat mereproduksi makna untuk kasus-kasus hukum yang lain. Kaedah pertama memang dapat memasung pemaknaan ilmu semacam asbab al-nuzul dalam batas tertentu. Tapi ia sesungguhnya dapat mereproduksi makna dalam menyikapi persoalan-persoalan hukum berikutnya. Nah, kalau demikian halnya maka esensi persoalan bukan terletak pada perdebatan seputar penerapan kedua kaedah ini, tetapi menyangkut piranti nalar lebih proporsional untuk mendekatkan bentangan jarak historis antara masa produktivitas teks dengan kondisi riil sekarang. Perdebatan di atas amat bermakna menyadarkan kita akan pentingnya mediator nalar untuk membumikan teks suci ke dalam kancah kehidupan riil sehari-hari.

Jika boleh disimplifikasi, sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur penting yang mesti diajukan untuk keperluan mediasi teks dan realitas di atas. Pertama, penguasaan makna dan arah tujuan sebuah teks diproduksi. Pemahaman seperti ini penting agar reproduksi makna yang dilahirkan dari sebuah teks tidak bergeser dari kerangka dasar maksud Syari’ (pembuat Syari’ah) yang muaranya tak lain untuk kemashlahatan hamba. Kedua, pengamatan realitas sosial dimana komunitas hukum (para mukallaf) hidup baik secara individu maupun masyarakat. Penghayatan kondisi sosial mukallaf sangat perlu agar penerapan sebuah produk hukum tidak mereduksi kepentingan dan kemashlahatan mereka sendiri. Ketiga, penempatan makna teks terhadap realitas. Dengan unsur ketiga ini, seorang mujtahid tidak semata bertugas memproduk hukum-hukum operasiaonal sesuai mekanisme istidlal yang diperlukan, tetapi lebih dari itu bagaimana sebuah produk ijtihad dapat diterapkan sesuai konteks sosiologis yang tepat guna. Karena itu Imam Ibnu al-Qayyim (w. 751 H), salah seorang Ulama’ dalam madzhab Hanbali, menandaskan bahwa penerapan hukum yang tidak dilandaskan pada prinsip keadilan, kemaslahatan, rahmat dan hikmah maka sesungguhnya telah terjadi pemerkosaan ta’wil. Apa yang diterapkannya karena kedangkalan ilmu yang mereka miliki. Mereka dengan demikian terjerembab ke dalam lembah kesempitan karena kekeliruan yang dialami.

Pengaruh Perubahan Realitas Terhadap Pemaknaan Teks
Fakta sejarah juga telah menunjukkan bahwa para Juris Islam selalu memperhatikan realitas masyarakat dalam mengembangkan pola istinbath hukumnya. Hal demikian ini dapat dimaklumi sebab penempatan temuan hukum sesuai konteks realitas adalah bentuk lain dari penerapan nilai-nilai etis yang amat dianjurkan dalam ajaran Islam. Khalifah Umar bin Abdul Aziz ketika menjabat Gubernur di Madinah bersedia memberi keputusan hukum bagi gugatan penggugat bila ia dapat mengajukan dua orang saksi atau seorang saksi disertai sumpah penggugat. Sumpah tersebut dimaksudkan sebagai ganti dari kedududkan seorang saksi yang lain. Akan tetapi setelah Beliau menjabat khalifah yang berkedudukan di ibu kota Negara saat itu, yaitu Syam, Beliau enggan memberikan ketetapan hukum atas pengajuan formula saksi yang sama. Ketika ditanya tentang perubahan pendiriannya tersebut, Beliau menjawab; “kami melihat orang Syam berbeda dengan orang Madinah”.

Imam Abu Hanifah (pendiri madzhab Hanafi) membolehkan mengambil keputusan hukum dengan pengajuan saksi yang tidak diketahui identitas keadilannya. Beliau memandang segi keadilan seorang saksi menurut lahirnya saja. Akan tetapi fatwa yang berkembang pada masa dua orang murid binaannya, yaitu Imam Abu Yusuf dan Muhammad al-Syaibani, tidak boleh memberikan putusan hukum dengan persaksian orang seperti di atas. Apa yang menjadi pertimbangan hukum adalah realitas masyarakat berupa merajalelanya kebohongan pada masa kedua muridnya tersebut. Imam al-Syafi’i dalam pengembaraan ilmunya pernah meninggalkan pendapat lamanya (qaul qadim) yang dengan susah payah Beliau bangun sewaktu tinggal di Baghdad, Irak. Beliau lalu hijrah ke Mesir dengan membangun paradigma Fiqh barunya yang kemudian lazim disebut qaul jadid. Perbedaan kedua paradigma Fiqh ini tidak lepas dari pengaruh pengamatan al-Syafi’i terhadap realitas hidup masyarakat Irak dan Mesir.

Pada masa shahabat, adalah Khalifah Umar bin al-Khatthab yang sering menggunakan ketetapan hukum berdasarkan pertimbangan realitas. Seperti ketika Beliau enggan memberikan jatah zakat kaum muallaf, yaitu orang yang komitmen agamanya masih lemah karena baru memeluk Islam. Dalam QS al-Taubah; 60 diuraikan bahwa mu’allaf mendapatkan bagian zakat dengan pertimbangan untuk meluluhkan hati mereka terhadap Islam lantaran posisi Islam yang masih lemah saat itu. Akan tetapi pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab ra, Beliau melihat posisi Islam sudah sedemikian kuat, tidak seperti pada masa Rasullullah saw masih hidup dan masa kekhalifahan Abu Bakar ra sebelumnya. Atas dasar pertimbangan ini Khalifah Umar ra menghapus bagian zakat mu’allah mengingat illah (reason) hukumnya sudah tidak memadai. Contoh lain adalah bagimana Umar bin al-Khatthab ra tidak menerapkan hukuman potong tangan pada masa pemerintahannya. Berdasar pada QS al-Maidah; 387 hukuman bagi pencuri ialah dipotong tangannya. Ayat ini telah diperkuat sunnah fi’liyyah di mana Rasulullah saw pernah mempraktikkannya. Namun demikian, pada masa pemerintahannya, Umar tidak menerapkan jenis hukuman ini dengan pertimbangan kondisi masyarakat yang tidak stabil belum siap menerima hukuman tersebut.

Berbagai contoh aplikatif di atas menyisakan sebuah refleksi dan renungan buat generasi sekarang. Kalau pada kurun-kurun awal saja mediasi nalar amat berperan sentral mempertautkan teks dengan realitas, apalagi pada masa-masa kita sekarang dimana bentangan historis semakin jauh antara proses kelahiran teks dengan realitas sosial masyarakat. Pada era teknologi informasi kini hitungan angka perubahan tidak lagi dapat terukur secara geometric, melainkan memerlukan perangkat aritmatika super canggih untuk menerkanya. Dalam kondisi psikologis seperti ini kita tidak bisa mengembangkan wawasan set back dengan mereduksi peran nalar semata untuk mempersembahkan persoalan ini kepada para pendahulu kita yang jauh lebih berkompeten. Kata hadith Nabi: “setiap kurun memerlukan pembaharu untuk meng-up date seluk-beluk urusan agama”. Kata pepatah Arab, li Kulli zaman maziyyatuhu (tiap masa itu pasti mempunyai keistimewaannya sendiri-sendiri). Realitas perubahan yang terjadi sekarang bukanlah jenis perubahan yang pernah terjadi di abad-abad silam. Memang ada pemikiran dominan saat ini yang dibangun oleh para penulis Abad Pertengahan. Pemikiran ini menganggap pupusnya harapan kita mengembangkan nalar ijtihad karena berbagai persyaratan yang sulit dijangkau generasi kita sekarang. Tapi ini dilatari oleh setting sejarah yang saat itu memang tidak kondusif untuk mengembangkan wacana agama secara lebih bergairah dan bersemangat.

Muhammad Iqbal, pemikir asal Pakistan, menengarai ada tiga factor penyebab pemasungan fungsi nalar ijtihad itu. Pertama, merebaknya isu penafsiran longgar yang dikembangkan oleh paham rasionalisme. Kalangan rasionalis dinilai telah mengundang sikap antipati kelompok Islam lain dengan melakukan penafsiran longgar terhadap agama. Tak hanya itu, isu rasionalisasi yang mereka kembangkan dinilai lepas begitu saja dari konteks sejarah sehingga menimbulkan perlawanan pihak konservatif. Sebagai dampaknya, para ulama’ saat itu lalu khawatir wilayah ijtihad dimasuki mereka yang tak cukup memiliki kompetensi melakukannya. Sebagai langkah preventif, mereka kemudian memberikan kriteria persyaratan super ketat bagi seorang Mujtahid. Kondisi seperti inilah yang kemudian mengesankan pintu ijtihad sudah ditutup.

Kedua, asketisisme atau tren hidup bertapa yang melanda dunia tasawwuf menyebabkan suburnya penafsiran eskapisme yang cenderung mengabaikan dimensi alam nyata. Pada gilirannya, kecenderungan seperti ini mereduksi diskursus intelektual dan nalar ijtihad. Prakondisi seperti ini lalu memunculkan kecenderungan menutup kran berpikir untuk mengembangakan wacana agama ke arah yang lebih kreatif dan dinamis. Ketiga, pembumihangusan Baghdad, kota Seribu Satu Malam, oleh tentara Mongol dari Asia tengah. Tragedi berdarah yang terjadi pada abad ke-13 M ini bukan saja melumpuhkan pusat kebudayaan Islam tetapi juga berdampak pada melemahnya kesatuan ummat. Lalu untuk merajut kembali kesatuan pandangan ummat Islam saat itu, para Juris Islam lebih sreg menutup pintu ijtihad untuk menghindari munculnya keragaman pendapat. Dengan kata lain, kondisi tidak menentu saat itu amat kurang kondusif bagi pengembangan intellectual discourse yang sarat perdebatan dan perbedaan pendapat. Lalu dibuatlah formula persyaratan berlebihan yang mengesankan seolah ijtihad merupakan sebentuk kegiatan sakral yang tak dapat tersentuh oleh generasi manapun (untouchable).

Secara lebih spesifik lagi, apa yang sering mengemuka dalam wacana ijtihad adalah kategorisasi teks. Ini dilakukan untuk memilah-milah ragam teks yang mungkin dan yang tidak mungkin dijangkau oleh praktik istinbath (penggalian hukum). Ungkapan yang popular dalam ilmu ushul Fiqh adalah la ijtihada fi muqabalati al-nash (tidak ada ijtihad dalam persoalan yang berhadap-hadapan dengan teks) atau al-ijtihadu fima la nassha fihi (pembahasan ijtihad berkisar pada ketentuan-ketentuan hukum yang tidak terdapat teksnya). Ungkapan ini jelas membatasi wilayah ijtihad pada persoalan-persoalan keagamaan yang belum ada ketentuan teks secara tegas dan tersurat. Kalangan Juris Islam klasik merumuskan teks menjadi dua kategori besar, yaitu qath’i dan dhanni. Jika yang pertama (gath’i) merupakan teks yang mempunyai ketentuan makna immutable yang bersifat konstan dan mengikat pada satu pengertian, maka jenis teks kedua (dhanni) dapat mereproduksi makna ganda yang tidak permanen. Jenis teks kedua ini masih termasuk wilayah ijtihad menurut Juris Islam di atas. Dengan demkian, teks yang tak dapat dijamah oleh ijtihad adalah teks dalam pengertian jenis pertama, yaitu teks qath’i.

Menurut perspektif ini, fragmentasi teks menjadi qath’i dan dhanni lebih didasarkan pada pertimbangan redaksional ketimbang substansi makna yang langsung bersinggungan dengan realitas. Karena itu kalangan pemikir Islam liberal semisal alm. Fazlurrahman, Muhammad Arkoun, Mahmud Muhammad Thaha, Abdullahi al-Na’im dan lain-lain sering melakukan counter pemikiran terhadap formula qah’i-dhanni dengan pertimbangan redaksional teks semata. Bagi kalangan liberalis, apa yang bersifat konstan dan qath’i adalah nilai dan keadilan yang mesti ditegakkan sepanjang sejarah. Selebihnya merupakan instrument teknis yang mempunyai fungsi mengejawantahkan nilai-nilai keadilan universal di atas. Dengan demikian, menurut aliran ini, apa yang bersifat qath’i terbatas hanya pada nilai keadilan universal, selebihnya hanya merupakan partikulasi teknis yang amat kondisional. Apa yang layak dikemukakan di sini bahwa perdebatan semacam ini merupakan wacana klasik yang tak kunjung mendapatkan titik temu. Kalangan Islam literalis-pun dalam kondisi perdebatan seperti ini akan memberikan counter balik bahwa keadilan universal tidak dapat ditafsirkan secara sepihak tanpa melibatkan teks sebagai firman yang transenden.

Wacana perdebatan yang dikembangkan kalangan liberalis dan literalis sepanjang sejarahnya cenderung bersifat legal dan formal menyangkut entitas ajaran (Syari’ah) yang hendak dimaknai. Sebagai contoh, perdebatan sering terjadi seputar persoalan hukum memelihara jenggot, jilbab, pluralismme agama, persoalan gender, sampai pada persoalan-persoalan hukuman tindak pidana dalam Islam semisal potong tangan, hukuman mati, rajam dan lain-lain. Kalangan literalis menganggap jenis hukuman formal seperti potong tangan dan yang sejenisnya mempunyai indikasi hukum qathi’ yang tidak dapat dimaknai lain kecuali harus melaksanakan perintah teks secara apa adanya. Tafsiran seperti ini sudah sesuai dengan penyikapan kalangan literalis terhadap teks qath’i yang menitikberatkan pada pertimbangan redaksi (ibarat). Ini berbeda dengan pandangan kaum liberalis yang lebih mempertimbangkan faktor konteks sosiologis ketimbang ibarat teks. Dalam kaitan contoh di atas kalangan ini menganggap jenis hukuman potong tangan dan yang semisalnya sebagai produk budaya lokal arab. Sebab itu, jenis hukuman ini tidak mesti dapat diterapkan dalam konteks masyarakat lain di luar masyarakat arab pada masa-masa turunnya wahyu. Bagi kalangan liberalis, yang terpenting adalah pesan-pesan ajaran berupa nilai etis yang bersifat universal dapat diterapkan dalam setiap komunitas. Dalam konteks hukuman tadi, bagi kalangan ini yang terpenting bagaimana hukuman itu bisa efektif menyandra perasaan pelaku pidana untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya serta masyarakat luas dapat ambil ibrah (pelajaran) dari kasus pidana yang dilakukan. Soal jenis dan bentuk hukumannya tergantung konteks sosiologis masyarakat setempat.

Perdebatan formal menyangkut inti Syari’ah seperti ini cukup banyak menyita bahkan menyandra perhatian publik hukum Islam sepanjang sejarahnya. Karena itu rasanya perlu ada apresiasi lain menyikapi persoalan tersebut walaupun fokus perdebatan masih saja tidak beranjak jauh dari topik pembahasan yang sama. Mekanisme pergulatan seputar diskursif Syari’ah ada baiknya kita bingkai dalam format perdebatan yang membelah antara ajaran syari’at sebagai sebuah empistemologi di satu pihak dengan pelaksanaan Syari’ah sebagai sebuah tawaran aksiologis di pihak lain. Tawaran qathi’i-dhanni seperti dipresentasikan kedua aliran di atas dapat kita tangkap sebagai pemaknaan epistemologis terhadap wujud teks yang semula bersikap diam. Untuk mengejawantahkan teks secara lebih gamblang ke dalam makna yang dimaksud Syari’ perlu pengembangan mekanisme tafsir dan ta’wil secara lebih elaboratif. Dalam konteks yang ini, wacana qathi’i-dhanni di atas telah memberikan kontribusinya yang cukup berarti walaupun dengan kadar kelebihan dan kekuarangan yang dimiliki masing-masing tawaran yang dikemukakan kedua aliran.

Dalam tataran aksiologi penerpan Syari’ah, kita perlu mengilas balik kedudukan Nabi ketika menerapkan semisal hukuman potong tangan dan lain-lainnya. Sebab seperti pernah diisyaratkan al-Qrafi bahwa pribadi Rasulllah saw tidak hanya berkapasitas sebagai seorang Nabi. Sebaliknya, dalam waktu bersamaan Beliau juga seorang Imam, seorang muballigh, seorang mufti (pemberi fatwa) dan bahkan juga seorang qadli (hakim). Dalam kapasitasnya sebagai hakim, Rasullah saw memiliki wilayah cukup luas untuk mengembangkan nalar ijtihad agar semua amar keputusannya mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Keputusan Nabi memberlakukan hukuman potong tangan yang kemudian lazim disebut sunnah fi’liyyah (pelaksanaan anjuran teks al-Qur’an) merupakan hasil keputusan Nabi sebagai seorang hakim yang bijaksana pada saat itu. Selang beberapa waktu kemudian, Umar bin al-Khatthab ra, yang juga merangkap jabatan sebagai khalifah dan hakim pada masa pemerintahannya, memberikan amar putusan berbeda dalam kasus yang sama, yaitu pencurian.

Sebagai seorang hakim, shahabat Umar ra beranggapan bahwa struktur dan realitas sosial masyarakat pada masa kekhalifahannya tidak sama dengan kondisi masyarakat pada masa Nabi masih hidup. Karena itu, Umar merasa mengabikan rasa keadilan masyarakat jika memutuskan hukuman potong tangan saat itu. Lalu, dengan demikian, apakah putusan Umar ini bertentangan dengan teks? Apakah Umar enggan melaksanakan anjuran teks al-Qur’an. Jawabnya, tidak. Ibaratnya, ketentuan hukuman dalam teks al-Qur’an merupakan hukuman maksimal. Dalam amar keputusannya bisa saja seorang hakim tidak menerapkan hukuman maksimal, melainkan mengambil jenis hukuman di bawahnya yang lebih sesuai dengan konteks sosiologis masyarakatnya. Rasulullah sendiri dalam menyikapi persoalan ini telah melakukan langkah antisipatif dengan memberi kelonggaran seorang hakim untuk menggunakan nalar ijtihadnya sehingga apa yang menjadi keputusannya sesuai dengan konteks realitas. Dalam sebuah hadith-nya yang popular, Rasulullah saw bersabda : “jika seorang Hakim melakukan ijtihad lalu hasil ijtihadnya benar maka dia mendapatkan dua pahala. Sebaliknya, jika hasil ijtihadnya keliru maka dia hanya mendapat satu pahala.” (HR Muslim).

Apa yang menjadi refleksi buat kita, kalau saja pada dua masa berdekatan, masa Rasulullah saw dan Umar ra, terjadi kesenjangan realitas yang mesti menjadi pertimbangan hakim dalam menggulirkan amar keputusannya, maka bisa dibayangkan betapa bentangan sejarah panjang antara kelahiran teks dengan realitas sekarang sangat berpengaruh terhadap mekanisme pengambilan kesimpulan hukum. Jika pada kedua masa di atas jabatan hakim cenderung dirangkap oleh seorang kepala Negara, maka kondisi sekarang sudah sedemikian berkembang seiring tingkat perkembangan ilmu hukum dan ilmu tata negara dalam Islam. Kedudukan mahkamah saat ini sudah sedemikian mandiri dan otonom dalam mengembangkan mekanisme pengambilan ketentuan hukum untuk mengapresiasi keadilan universal, seperti dituangkan dalam pesan-pesan moral ajaran suci.

Karena itu, perdebatan qathi’i dan dhanni mesti diletakkan dalam kerangka pemikiran yang lebih proprsional sesuai konteks epistemologi dan aksiologi masing-masing. Apa yang menajdi prioritas kita sekarang bukalah perdebatan lega-formal menyangkut wujud Syari’ah dengan setting wacana qathi’i-dhanni semata. Sebaliknya, bagaimana dimensi aksiologi hukum Islam benar-benar mengejawantahkan secara riil sesuai kebutuhan masyarakat. Dalam kaitan ini, penting dikemukan perlunya memberdayakan lembagai legislasi kita untuk men-suplay materi hukum yang sesuai dengan tingkat perkembagan masyarakat serta dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan universal seperti diisyaratkan dalam kebanyakan teks. Sebab pada kesimpulannya, setiap teks dalam kumpulan ajaran suci mempunyai relasi bahkan interelasi dengan seluruh rangkaian realitas yang terus bergulir mengitari terjadinya perkembangan dan perubahan setiap saat.

Contoh perdebatan di atas merupakan percikan kecil dari sekian ragam agenda ummat Islam memaknai nilai-nilai universal ajaran suci yang seolah tersembunyi di balik keagungan teks. Pada kenyataannya, teks –sebagaimana ungkapan Imam Ali di bagian awal tulisannya- adalah mengambil posisi diam, khususnya jika dikaitkan dengan konteks dinamika masyarakat yang terus berkembang. Nalar manusian dengan bimbingan spirit teks tentunya diharapkan menjadi mediator antara teks yang bersifat diam dengan realitas perkembangan ilmu pengetahuan yang terus bergulir tanpa limit waktu.

Situbondo, 9 Maret 2005
Editor

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home